Minggu, 06 Mei 2012


ANALISIS POTENSI SUMBERDAYA LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PETERNAKAN KABUPATEN ACEH BESAR


Analyse the Potency of land Resources for Development Ranch in Aceh Besar Regency

Muyassi1

Abstract
Have been conducted research in Blang Ubo-Ubo, Panca, and Cot Seuribe Aceh Besar Regency as a mean to know the potency of farm resource for the development of grass the livestock food, knowing energy support the farm to set of ideal livestock unit as according to existing resource ability, knowing technology of management of land resource to be can be productive everlastingly. Result of research indicate that the area represent the area which enough according to for the development of ranch. Constrictor factor its use limitation irrigate the, erosion danger,  and low fertility of the soil. The land resource are very potential for the product increase of livestock of approach intensification, and or extensification. Land resource potency which have used to various development need 664,81 ha ( 17,92%), areal reserve which still be potential for the development of ranch a period to coming reaching 3.045,19 ha ( 82,08%). From all planned development area potency, powered farm only 4,93% in Blang Ubo-Ubo, 13,23% in Panca, and 5,23% in Cot Seuribe, the rest of between 86,8% until 95,07% not yet optimal. Capacities accommodate the ox livestock in Blang Ubo-Ubo 6.049 UT, Cot Seuribe 12.612 UT, and goat in Panca as much 9.297 UT. Potency of the capacities accommodate the livestock of area ox as much 5.751 until 11.952 UT and goat as much 8.067 UT. Sum up the livestock which admit of accommodated in area of Blang Ubo-Ubo by Cot is Seuribe reach 18.661 UT, and 8.067 UT in Panca.


Keyword; potency, Land reources, ranch, Aceh Besar.


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sektor peternakan menjadi salah satu andalan pembangunan nasional maupun regional dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, penyediaan produksi kebutuhan pangan dan perolehan devisa (Juanda, 2002). Pembangunan kawasan peternakan merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan peternak, meningkatkan daya saing produk pertanian serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian (Saragih, 2000). Untuk mewujudkan hal tersebut Pemerintah Daerah telah mendukung masyarakat serta stakeholder terutama pada daerah potensil untuk pengembangan peternakan.
Pengembangan kawasan peternakan yang dicanangkan pemerintah memberikan spirit yang sangat besar kepada masyarakat dalam memacu peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya dan sekaligus menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi daerah. Selama satu dasawarsa terakhir sektor ini menjadi tiang ekonomi daerah, peranannya cukup besar terhadap pembangunan struktur ekonomi Aceh Besar. Dalam kurun tahun 1996-2000 pertumbuhannya cenderung meningkat rata-rata 4,97% per tahun.
Menurut Delgado et al. (1999) bahwa di negara-negara berkembangan terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi produk peternakan. FAO sejak tahun 1999 sudah memprediksi akan terjadinya perubahan signifikan pada sektor peternakan dunia. Ketika konsumsi daging dunia meningkat 2,9 %, maka di negara-negara berkembang sudah melaju sampai 5,4%, bahkan di Asia Tenggara mencapai 5,6%. Sementara di negara-negara maju hanya meningkat 1%. Sampai tahun 2020 diperkirakan pertumbuhan konsumsi daging negara-negara berkembang rata-rata 2,8% per tahun, sementara di negara-negara maju hanya 0,6% per tahun. Perkembangan terakhir di Aceh Besar menunjukkan pertumbuhan populasi ternak besar mencapai 6-7%, ternak kecil 5-6%, dan unggas 8-9%. Data Dinas Peternakan menunjukkan produksi daging mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga daging sapi hampir 1.000 ton, daging kerbau 213.650 kg, daging kambing sekitar 400.000 kg.
Program pengembangan kawasan peternakan ini diharapkan menjadi salah satu model pengembangan peternakan di Provinsi Aceh. Melalui program strategis ini akan dapat meningkatkan produksi ternak sekaligus pendapatan dan kesejahteraan petani, serta memberi dampak positif pada pengembangan sektor lain. Peran strategis peternakan yang utama adalah sebagai penyedia pangan berkualitas, yakni sebagai sumber protein hewani yang turut mencerdaskan bangsa, khususnya pada anak dan generasi penerus bangsa. Protein hewani merupakan faktor yang tidak bisa dihilangkan atau digantikan dalam menu makanan kita
Peran strategis peternakan juga berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Pemerintahan telah menetapkan tiga sasaran utama program penanggulangan kemiskinan, yakni; menurunnya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau, dan terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu.
Untuk itu telah diambil langkah-langkah antisipatif berupa pola pengembangan peternakan industri dan peternakan rakyat secara proporsional. Pemerintah kabupaten Aceh Besar telah melakukan suatu terobosan yang tepat dengan peluncuran program pengembangan kawasan peternakan  yang dipusatkan di Blang Ubo-ubo, Panca, dan Cot Siribee Kota Jantho. Kebijakan yang bersifat percepatan pertumbuhan pembangunan pedesaan itu terasa sangat tepat dan strategis. Karena telah terbukti sejak krisis moneter yang melanda Indonesia (dan beberapa negara Asia lainnya) pada pertengahan 1997 telah menimbulkan kontraksi  perekonomian pada semua sektor. Saat-saat krisis ini sektor pertanian (agribisnis) muncul sebagai sektor penyelamat perekonomian nasional dari kebangkrutan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan ekonomi  nasional dewasa ini belum memiliki landasan yang cukup kuat untuk menyangga sistem perekonomian nasional (Nasution, 1999).
Pemerintah berupaya memperkuat ekonomi fundamental dan sektor pertanian menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang utama. Sejak awal pembangunan nasional berlangsung,  sektor agribisnis telah memberikan konstribusi yang tinggi dalam net ekspor nasional, penyerapan dan penyediaan tenaga kerja serta penciptaan nilai tambah (value added). Oleh karena itu pemerintah terus meningkatkan perhatian terhadap sektor ini yaitu dengan kebijakan program pengembangan kawasan yang berbasis pertanian seperti sub sektor peternakan.
           
Tujuan
Kajian analisis potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan peternakan di Kabupaten Aceh Besar ini bertujuan untuk: (a) mengetahui potensi sumber daya lahan untuk pengembangan hijauan makanan ternak, (b) mengetahui daya dukung lahan terhadap satuan unit ternak yang ideal sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang ada, (c) mengetahui teknologi pengelolaan sumberdaya lahan agar dapat berproduksi secara lestari.

Permasalahan
Beberapa permasalahan dalam pengembangaan kawasan peternakan di Kabupaten Aceh Besar antara lain adalah: (a) Apakah sumber daya lahan di kawasan pengembangan peternakaan Kabupaten Aceh Besar sesuai untuk pengembangan beberapa jenis hijauan makanan ternak, (b) berapakah kemampuan sumberdaya lahan di kawasan pengembangan dalam memampung ternak sapi sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya alam itu sendiri, dan (c) faktor agro fisik dan lingkungan apa saja yang menjadi pembatas pemanfaatan sumber daya lahan untuk pengembangan peternakan di Kabupaten Aceh Besar.

METODOLOGI

Tempat dan Waktu
       Penelitian berlangsung dalam tiga kawasan di Kabupaten Aceh Besar yaitu; (a) kawasan Blang Ubo-Ubo yang termasuk dalam Desa Saree Aceh Kecamatan Lembah Seulawah dengan luas kawasan 560 ha, (b) kawasaan Cot Seuribe yang terdiri atas empat desa yaitu Rabo, Cucum, Bareueh, dan Data Gaseu, juga masuk dalam Kecamatan Kota Jantho dengan luas areal 2945,24, dan (c)  kawasan desa Panca yaitu Panca dan Panca Kubu yang termasuk dalam Kecamatan lembah Seulawah dengan luas areal 150 ha. Penelitian telah berlangsung mulai Juni sampai November 2008.

Metode Pelaksanaan
Secara umum, kegiatan penyusunan studi lanjutan pengembangan peternakan Provinsi Aceh merupakan suatu kegiatan studi yang dilakukan melalui pendekatan metode PRA (Participatory Rural Appraisal), dan RRA (Rapid Rural Appraisal). Penelitian dilakukan dengan proses pengkajian cepat dan menghimpun segala data dan informasi secara partisipatif langsung ke sasaran kegiatan. Data yang telah terkumpul lalu dianalisa statistik melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, hasilnya diinterpretasikan dan untuk selanjutnya dilihat kecenderungan-kecenderungan.

Teknik Pengumpulan Data
       Pengumpulan data primer dilakukan dengan jalan observasi langsung (survey) lapangan untuk mendapatkan gambaran fenomena secara faktual. Sebelum survey lapangan lebih dahulu dilakukan persiapan-persiapan penyusunan administrasi, mobilisasi personil, persiapan data dasar dan peta rencana kerja, penyediaan bahan dan peralatan survey. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui kajian kepustakaan, laporan, jurnal, dan media elektronik (internet).
       Penelitian ini juga menggunakan metode survey yang dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu sebagai berikut; (1) pra survey atau survey pendahuluan untuk mendapatkan data sekunder, (2) survey utama (lapangan) untuk mendapatkan data primer dan contoh tanah untuk dianalisis di Laboratorium. Sampel tanah diambil secara acak pada setiap titik yang ditentukan secara taktis dengan frekuensi pengambilan sekitar 1 sampel per 50 ha atau ditentukan berdasarkan heterogenitas wilayah. Contoh tanah yang dianalisis merupakan contoh tanah komposit dengan aspek analisis tekstur tanah, pH, C-org, N, P, K, dan KB. Hasil analisis contoh tanah di laboratorium, lebih lanjut dilakukan analisa dan interpretasi untuk menilai tingkat kesuburan kimia tanah. Kriteria interpretasi berpedoman pada kriteria yang dikeluarkan oleh Puslittanak (1993).

Satuan Peta dan Evaluasi Kesesuaian Lahan
Satuan Peta lahan (SPL) disusun dengan jalan overley beberapa karakteristik lahan, dalam hal ini adalah unsur kemiringan lahan (lereng), jenis tutupan/vegetasi atau penggunaan lahan, dan jenis tanah. Rancangan survey lapangan disusun dan dilaksanakan berdasarkan SPL dengan harapan hasil yang diperoleh lebih objektif. Padanan penyusunan hharkat kesuburan tanah merujuk pada kriteria Interpretasi Sifat-sifat Kimia Tanah Menurut Puslittanak (1993).
Analisis kesesuaian lahan merupakan interpretasi data tanah dan fisik lingkungan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan survey dan pemetaan tanah.  Data satuan tanah dan lahan di daerah survey digunakan dalam analisis melalui ekstraksi database land unit.  Konsep dasarnya adalah membandingkan karakteristik/kualitas lahan (land characteristics/quality) dengan persyaratan tumbuh tanaman (crop requirements), dalam hal ini adalah tanaman rumput gajah, setaria, dan kelompok leguminosa. 

Kapasitas Tampung Ternak
Penentuan kapasitas tampung ternak terutama yang menyangkut dengan ketersediaan pakan atau ransum yang diperhatikan adalah meliputi aspek-aspek sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Subagio dan Kusmartono, (1988) yaitu sebagai berikut:
Penaksiran kuantitas produksi hijauan, dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai frame berukuran bujur sangkar. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan secara acak, ditentukan dengan melihat homogenitas lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan. Hijauan yang terdapat dalam areal frame dipotong lebih kurang 5 - 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.
Penentuan Proper Use Factor. Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah  padangan. Untuk penggunaan padangan ringan, sedang, dan berat nilai PUF-nya masing-masing adalah 25-30 %, 40-45 %, dan 60-70 %. Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan antara lain karena: (a) Erodibilitas lahan, yaitu jika lahan semakin mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlau banyak hijauan dipanen, (b) Pola pertumbuhan kembali hijauan. Bila hijauannya mempunyai pola pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua hijauan yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara, dan (c) Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang akan dipelihara bahwa semakin banyak jenis temak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100 % hijauan yang ada dapat dikonsumsi ternak,
Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan. Misalnya: kebutuhan seekor ternak sapi dewasa adalah 40 kg rumput per hari (10% dari bobot badan) maka per bulan diperlukan 40 kg x 30 = 1200 kg (1,2 ton) hijauan. Bila produksi hijauan 8 ton per ha, maka luas lahan yang dibutuhkan seekor sapi dewasa per bulan adalah 1,2/8 = 0,15 ha.
     Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun. Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari. Untuk menaksir kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus Voisin yaitu sebagai berikut : (Y - 1)s = r 
dimana : Y = Angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per tahun terhadap kebutuhan per bulan, s = Periode merumput, dan  r = Periode istirahat
Kapasitas Tampung. Pengukuran kapasitas tampung sapi atau kamping atau domba dapat dilakukan dengan pendekatan seperti pengukuran kapasitas tampung bagi ternak sapi yang disarankan oleh Reksohadiprodjo (1985). Jenis ternak mempunyai hubungan erat dengan kebutuhan konsumsi pakannya. Menurut Semiadi (1998), kebutuhan pakan untuk untuk ternak dewasa (sapi, kambing, domba) per harinya adalah 3.1 kg bahan kering atau  10% dari berat badannya.
Kapasitas Tampung Padangan Alam. Penghitungan kapasitas tampung padang rumput alam dilakukan berdasarkan atas produksi hijauan yang dapat dikonsumsi. Urutan perhitungan adalah sebagai berikut (Reksohadiprodjo, 1985):
Produksi Hijauan (kg ha-1) = Rata-rata BB cuplikan (kg m-2)*104 (m2 ha-1)
Hijauan tersedia (kg ha-1)    = PUF * Produksi hijauan (kg ha-1)
Pada penelitian ini penggunaan lahan padang penggembalaan atau Proper Use Factor (PU) diasumsikan pada tingkat berbeda-beda antara Blang Ubo-Ubo, Panca dan Cot Seuribe.
    
Y adalah angka konversi luas tanah yang dibutuhkan dari per bulan menjadi per tahun sebesar 3.33 berdasarkan rumus Voisin yaitu :
 
dengan S adalah lama periode merumput yang ditentukan selama 30 hari, dan R adalah lama periode istirahat yang ditentukan selama 70 hari.
     Kapasitas tamping
Dari nilai kapasitas tampung ini selanjutnya dapat dihitung kapasitas tampung total dan kapasitas tampung bagi sapi atau kambing yaitu sebagai berikut : Kt = K*L., dimana : K = Kapasitas Tampung (UT/ha), Kt = Kapasitas tampung total (UT), L = Luas padang rumput alam (ha)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Agro Fisik
Luas keseluruhan Kabupaten Aceh Besar adalah 2.974,12 km2  atau setara dengan 297.412 ha (Aceh Besar Dalam Angka, 2006). Adapun rencana pengelolaan kawasan peternakan yang dipusatkan di Blang Ubo-Ubo Kecamatan Saree Kabupaten Aceh Besar tahun 2008 ini meliputi areal seluas 3.710 ha tersebar dalam beberapa desa dengan pusat pengembangan sebagaimana ditunjukkan dalam  Tabel 1.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa total luas lahan yang dicadangkan untuk pengembangan kawasan peternakan Kab. Aceh Besar pada tahun 2008 mencapai 3.710 ha. Lahan-lahan tersebut digunakan untuk berbagai penggunaan seperti lahan perkebunan HMT, lahan penggembalaan dan lahan-lahan untuk keperluan bangunan fisik seperti perkandangan, pesat kesehatan hewan, pusat administrasi dan perkantoran, dan lahan rencana pengembangan.
Kawasan pengembangan I terletak di Blang Ubo-Ubo Desa Saree Aceh Kecamatan Lembah Seulawah diarahkan untuk pengembangan sapi bali. Kawasan ini dikhususkan sebagai kawasan pengembangan pembibitan (breeding center) ternak sapi bali dengan luas kawasan mencapai 560 ha. Kawasan pengembangan II dipusatkan di kawasan Cot Seuribe, termasuk dalam kawasan ini adalah desa Rabo, Data Gaseu, Bareuh dan Cucum dengan luas kawasan 3.000 ha. Kawasan ini juga diarahkan untuk kawasan pembibitan ternak sapi bali model pengembangan padang



 Tabel 1. Lokasi pengembangan kawasan peternakan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008
No
Kecamatan
Pusat Kawasan
Desa pengembangan
Luas
Ha
%
1
Lembah Seulawah
Kawasan I Blang Ubo-Ubo
Saree Aceh
560
15,1
2
Kota Jantho
Kawasan II Cot Seuribee
Rabo, Data Gaseu, Cucum, Bareueh
3.000
80,9
Kawasan III Panca
Panca, Panca Kubu
150
4,0
Total
3.710
100
Sumber: Laporan Kegiatan Pengelolaan pengembangan Kawasan Peternakan Provinsi NAD, hasil survey  2008.


pengembalaan dan penyediaan hijauan makanan ternak pola Cut dan carry dengan penanaman rumput unggul. Kawasan pengembangan III diarahkan untuk pengembangan pembibitan kambing PE pola intensif dengan luas areal sekitar 150 ha yang termasuk dalam desa Panca dan Panca Kubu.

Fisiografi dan Penggunaan Lahan
Hasil analisis digitasi peta land sat yang disertai hasil pengamatan dan pengukuran lapangan dengan menggunakan abney level diketahui bahwa areal rencana pengembangan kawasan peternakan di masing-masing lokasi mempunyai fisiografi datar sampai bergelombang dengan kemiringan lahan dari 0-8%.  Pengembangan kawasan daerah Blang Ubo-Ubo dan Cot Seuribe mempunyai fisigrafi yang lebih komplek yaitu datar sampai bergelombang, sedangkan daerah pengembangan kawasan di daerah Panca mempunyai fisiografi datar. Lahan-lahan yang dicadangkan untuk pengembangan kawasan peternakan ke depan yaitu areal lahan kering yang masih berupa padang alang-alang, tanah tandus, dan semak belukar (Tabel 2).
Pola penggunaan lahan demikian terdapat dalam tiga lokasi pengembangan kawasan yang dapat dipertimbangkan untuk pengembangan kebun HMT dan padang pengembalaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bamualim (2004) bahwa pengembangan lahan kering untuk peternakan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya.
Luas areal pengembangan kawasan yang telah dan direncanakan pengelolaannya dalam tahun 2008 hanya sekitar 664,81 ha (17,90%) yang terdiri atas 481,83 ha (13%) di Blang Ubo-Ubo, 170,98 ha (4,6%) di Cot Seuribe, dan 12 ha (0,3%) di kawasan Panca. Sedangkan sisa lahan lainnya masih berupa alang-alang, tanah tandus, dan semak belukar merupakan lahan-lahan yang potensial untuk rencana pengembangan kawasan pada tahun-tahun mendatang. Luas lahan yang dapat diperuntukkan untuk tujuan dimaksud seperti di atas terdiri atas 78,17 ha (2,10%) tersebar sekitar Blang Ubo-Ubo, 2.829,02 ha (76,30%) di Cot Seuribe, dan 138 ha (3,70%) di kawasan Panca.

Kesesuaian Lahan
Kesesuaiaan lahan adalah kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuan lahan biasanya dievaluasi untuk dapat dilihat pada kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Sehubungan dengan luasan masing-masing areal pengembangan kawasan yang relatif homogen maka dalam penyusunan kelas kesesuaian lahan hanya didasarkan pada analisis tapak rencana penanaman HMT saja. Konsep dasarnya adalah membandingkan karakteristik/kualitas lahan (land characteristics/quality) dengan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan (land use/crop requirements), dalam hal ini adalah tanaman hijauan makanan ternak (HMT).
Hasil analisis sampel tanah komposit pada setiap lokasi pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD memperlihatkan nilai yang hampir sama antara kawasan satu dengan kawasan lainnya. Secara lengkap hasil analisis beberapa sifat tanah dimaksud disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa sifat kimia tanah areal pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD yang tersebar di daerah Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe relatif sama. Kapasitas tukar kation (KTK) berkisar antara 9,50 s/d 20,10 me/100 g tanah) dan tergolong


Tabel 2. Luas penggunaan lahan di kawasan pengembangan Peternakan Kabupaten Aceh Besar
No
Macam Penggunaan
Luas Kawasan
Blang Ubo-Ubo
Cot Seuribe
Panca
ha
%
ha
%
ha
%
1
2
3
4
5
6
Pemukiman
Kebun campuran
Sawah
Tegalan
Alang-alang, tanah tandus
Semak belukar
12,5
80,9
-
1,9
340,2
124,5
2,2
14,4
0,0
0,3
60,8
22,2
70,3
433,7
38,75
573,85
1216,4
667,0
2,3
14,5
1,3
19,1
40,5
22,2
3,4
21,7
30,3
0,5
60,8
33,4
2,3
14,5
20,2
0,3
40,5
22,3
Total
560
100
3.000
100
150
100
Sumber: Analisis tim survey (2008)



Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia sampel tanah komposit areal pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD

No
Karakteristik Tanah

Kawasan
Blang
Ubo-Ubo
Cot Sribe
Panca
1
2
3
4
5
Kapasitas Tukar Kation (me/100g)
Kejenuhan Basa (%)
pH (H2O)
C-Organik (%)
Tekstur
20,10 (R)
36,00 (R)
5,94 (AM)
0,50 (SR)
Agak Halus
14,40 (R)
34,65 (R)
5,54 (AM)
1,36 (SR)
Agak halus
9,50 (R)
33,37 (R)
5,06 (AM)
1,56 (SR)
Agak halus
Sumber: Hasil analisis Labioratorium Kimia Tanah fakultas Pertanian Unsyiah, 2008


dalam kategori rendah. Persentase kejenuhan basa (KB)  berkisar antara 33,37% s/d 36% dan termasuk dalam kelas rendah, pH tanah agak masam yaitu berkisar antara 5,06 s/d 5,94 dan kandungan bahan organik tanah tergolong sangat rendah. Secara umum dapat diperkirakan bahwa tingkat kesuburan tanah dimaksud termasuk dalam kategori rendah.

Kesesuaian Lahan Aktual
Hasil analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman Hijauan Makanan ternak (HMT) terdiri atas jenis rumput gajah, leguminosa, dan golongan Sataria. Pedoman penyusunan kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing komoditi dimaksud merujuk pada kriteria yang dikeluarkan oleh BPPT Bogor tahun 1993.

Rumput Gajah (Pennisetum purpurium SCHUM)
Hasil evaluasi lahan secara aktual untuk rumput gajah di daerah pengembangan kawasan peternakan Aceh Besar dapat dilihat dalam Tabel 4. Diketahui bahwa semua areal yang termasuk dalam daerah pengembangan kawasan peternakan (Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe) termasuk dalam kelas cukup sesuai (S2) dengan 2 (dua) sub kelas yaitu S2wa,fh,nr; dan S2wa,fh,lp,nr.
Lahan-lahan dengan sub kelas S2wa,fh,nr mempunyai faktor pembatas ketersediaan air terutama pada musim kemarau yang ditandai dengan rata-rata curah hujan tahunan 1.463,08 mm th-1, bahaya banjir pada musim penghujan yang berupa genangan dengan kategori ringan (kedalaman banjir < 25 cm, dan lamanya banjir < 1 bulan), dan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Sebaran lahan ini terdapat di kawasan Blang Ubo-Ubo, Panca, Panca Kubu, Cot Seuribe (kecuali desa Data Gaseu) dengan total luas areal 3.655,24 ha (98,52%).
Keterbatasan air yang dicirikan dengan rendahnya curah hujan menjadi kendala dalam kontinyuitas produksi pakan hijauan ternak. Elemen lingkungan juga telah menjadi kendala dalam sistem peternakan nasional. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soehadji, 1995; dan Muryanto, et al., 1995) bahwa permasalahan dalam penyediaan pakan hijauan ternak bagai sebagaian besar ternak rakyat di Indonesia adalah kekurangan air terutama pada musim kemarau.
Lahan-lahan yang termasuk dalam kategori sub kelas S2wa,fh,lp,nr mempunyai faktor pembatas tambahan selain yang telah disebutkan.  Faktor pembatas dimaksud adalah  kondisi lahan yang menyangkut dengan penyiapan lahan berupa batuan permukaan yang mencapai 5-15% dengan ukuran beragam antara <0,5 -1,5 cm2. Lahan ini terdapat di dalam kawasan Cot Seuribe yaitu desa Data Gaseu dengan luas areal 54,76 ha (1,50%).

Kelompok Leguminosa
Hasil evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk areal pengembangan tanaman hijauan makanan ternak dari kelompok leguminosa disajikan dalam Tabel 5. Menurut Tabel tersebut diketahui bahwa areal lahan pengembangan kawasan peternakan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe termasuk dalam kategori kelas kesesuaian lahan cukukup sesuai (S2) dengan dua sub kelas kesesuaian yaitu S2fh,nr dan S2fh,lp,nr.
Lahan-lahan untuk penanaman hijauan makanan ternak dari jenis leguminosa dengan sub kelas S2fh, nr mempunyai faktor pembatas penggunaan lahan berupa bahaya banjir dengan kategori ringan yang ditandai dengan kedalaman banjir kurang dari 25 cm, dan lamanya banjir kurang satu bulan, serta tingkat kesuburan tanah

Tabel 4. Kelas kesesuaian lahan aktual rumput gajah (Pennisetum purpurium SCHUM) di kawasan peternakan Kabupaten Aceh Besar
No
Kawasan
Kelas/Sub Kelas Kesesuaian
Desa
Luas
ha
%
1
Blang Ubo-Ubo
S2wa,fh,nr
Saree Aceh dan
Areal pengembangan
560
15,1
2
Cot Seuribe
S2wa,fh,nr

S2wa,fh,lp,nr
Rabo, cucum, Bareuh dan Areal cadangan pengembangan
Data Gaseu
2945,24

54,76
79,4

1,50
3
Panca
S2wa,fh,nr
Panca,Panca Kubu, dan
Areal pengembangan
150
4,0
Total
3.710
100
Sumber: Hasil analisis (2008)
Keterangan faktor pembatas; wa= ketersediaan air,  fh= bahaya banjir, nr= retensi hara, lp= penyiapan lahan

Tabel 5. Kelas kesesuaian lahan aktual kelompok Leguminosa di areal pengembangan kawasan peternakan Kabupaten Aceh Besar
No
Kawasan
Kelas/Sub kelas
Desa
Luas
ha
%
1
Blang Ubo-Ubo
S2fh,nr
Saree Aceh dan
Areal pengembangan
560
15,1
2
Cot Seuribe
S2fh,nr

S2fh,lp, nr
Rabo, cucum, Bareuh dan Areal
cadangan pengembangan
Data Gaseu
2945,24

54,76
79,4

1,50
3
Panca
S2fh,nr
Panca,Panca Kubu, dan
Areal pengembangan
150
4,0
Total
3.710
100
Sumber    : Hasil analisa (2009)
Keterangan faktor pembatas; wa= ketersediaan air,  fh= bahaya banjir, nr= retensi hara, lp= penyiapan lahan


rendah. Lahan-lahan sub kelas ini terdapat di kawasan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe (kecuali desa Data Gaseu) dengan total luas areal mencapai 3.655,24 ha (98,52%).
Sub kelas kesesuaian lahan S2fh,lp,nr juga mempunyai faktor pembatas penggunaan berupa faktor lingkungan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Selain faktor pembatas tersebut pada lahan  sub kelas ini juga mempunyai faktor pembatas penggunaan lainnya yaitu kondisi lahan yang dapat mempengaruhi penyiapan lahan yaitu berupa batuann lepas yang tersebar pada permukaan tanah dengan persentase antara 5-15%. Lahan dengan sub kelas ini hanya terdapat di kawasan Cot Seuribe yaitu desa Data Gaseu dengan luas areal mencapai 54,76 ha (1,50%).

Rumput Setaria (Setaria spachelata)
Hasil evalusi kesesuaian lahan untuk tanaman rumput jenis Setaria di areal pengembangan kawasan peternakan Blang Ubo-Ubo, Panca dan Cot Seuribe diketahui bahwa secara aktual lahan-lahan tersebut tergolong kelas cukup sesuai (S2) dengan 2 (dua) sub kelas kesesuaian yaitu S2fh,nr dan S2fh,lp,nr. Masing-masing kelas dan sub kelas kesesuaian lahan dimaksud telah diringkas dan disajikan dalam Tabel 6. Lahan yang masuk dalam sub kelas S2fh,nr tersebar dalam kawasan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seeuribe (tidak termasuk Desa data Gaseu). Faktor pembatas penggunaannya untuk budidaya tanaman rumput Setaria adalah berupa bahaya banjir dengan kategori ringan, dan kandungan hara tanah yang rendah. Lahan ini mempunyai luasan mencapai 3.655,24 ha (98,52%). Sedangkan lahan sub kelas S2fh,lp,nr juga memiliki faktor pembatas seperti disebutkan di atas dengan luasan 54,76 ha (1,5%), akan tepai ditambah lagi dengan faktor pembatas lingkungan berupa bahaya banjir yang mengancam pada musim hujan.

Kesesuaian Lahan Potensial
Kesesuaian lahan potensial adalah potensi perubahan kelas kesesuaian lahan aktual setelah faktor penghambat penggunaan untuk tujuan tertentu diperbaiki. Hasil evaluasi kesesuaian

Tabel 6. Kelas kesesuaian lahan aktual Setaria (Setaria spacelata) di kawasan peternakan Aceh Besar
No
Kawasan
Kelas/sub kelas
Desa
Luas
ha
%
1
Blang Ubo-Ubo
S2fh,nr
Saree Aceh dan
Areal pengembangan
560
15,1
2
Cot Seuribe
S2fh,nr

S2fh,lp, nr
Rabo, cucum, Bareuh dan Areal cadangan pengembangan
Data Gaseu
2945,24

54,76
79,4

1,50
3
Panca
S2fh,nr
Panca,Panca Kubu, dan
Areal pengembangan
150

Total
3.710
100
Sumber: Hasil analisis (2008)


lahan untuk penanaman hijauan makanan ternak berupa rumput gajah, tanaman kelompok leguminosa, dan setaria di daerah pengembangan kawasan peternakan disajikan dalam Tabel 7, 8, dan 9.
Menurut Tabel-tabel tersebut dapat dilihat bahwa semua kelas kesesuaian lahan aktual tidak dapat ditingkatkan kelas kesesuaiannya menjadi satu tingkat atau lebih tinggi dari kelas kesesuaian lahan sebelumnya. Hal ini dikarenakan faktor penghambat penggunaan lahan bersifat relatif permanen sehingga sangat sulit untuk dimanipula pada skala lapangan. Faktor pembatas dimaksud adalah kondisi lingkungan berupa unsur iklim yakni curah hujan rata-rata tahunan. Sedangkan faktor kendala lain masih memungkinkan untuk dimanipulasi meskipun dengan tingkat input yang tinggi. Faktor lingkungan ini adalah bahaya banjir atau genanangan masih dapat diatasi dengan membuat saluran drainase dalam jumlah yang kukup. Kandisi batuan permukaan yang menjadi penghambat penyiapan lahan untuk penanaman HMT dapat ditempuh dengan praktek minimum tillage (olah tanah minimum), dan tingkat kesuburan tanah yang rendah ditingkatkan dengan berbagai jenis pemupukan baik pupuk alam ataupun pupuk buatan. Oleh karena itu kelas kesesuaian lahan potensial untuk penanaman hijauan makanan ternak (HMT) berupa rumput gajah, leguminosa, dan Setaria di lokasi pengembangan kawasan peternakan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot seuribee tetap berada pada kelas cukup sesuai (S2) dengan sub kelas yaitu S2wa.
Sub kelas kesesuaian lahan potensial tersebut tentu saja jika telah mengalami beberapa perbaikan dengan tingkat input sedang sampai tinggi. Input-input tersebut berupa paket teknologi pengelolaan tanah dan tanaman. Aspek yang menyangkut dengan pengelolaan lahan tersebut adalah membuat saluran drainase pada lokasi yang berpotensi terkena banjir atau genangan air. Pengolahan tanah minimum, pembuatan guludan dan pemupukan tanaman HMT dengan pupuk alam dan buatan. Pupuk alam dapat dipakai Rock fosfat dan pupuk kandang itu sendiri,sedangkan pupuk buatan berupa SP-36, Urea, dan KCl dengan takaran 150-200 kg ha-1.

Rencana Pengembangan Kawasan
Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya meliputi budidaya pertanian (peternakan) dan budidaya non pertanian. Pengembangan kawasan budidaya pertanian ini dilakukan berdasarkan kesesuaian lahannya dan memperhatikan kondisi penggunaan lahan eksisting yang terdiri dari kawasan peternakan, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan hutan produksi. Sedangkan kawasan budidaya non-peternakan adalah berupa kawasan permukiman dan perkantoran, zona pertambangan, dll. Pengelolaan kawasan pengembangan peternakan dilakukan untuk memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk aktivitas peternakan, dalam menghasilkan produksi daging atau ternak dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Kriteria penetapan dan  pengelolaan kawasan peternakan meliputi; kawasan yang secara teknis fisik dapat digunakan untuk pengembangan peternakan, kawasan yang sekarang merupakan areal lahan basah atau kering (eksisting), terutama persawahan tadah hujan, semak belukar, alang-alang dll yang sudah terlantar puluhan tahun dan diupayakan dikonversi untuk membentuk


Tabel 7. Kelas Kesesuaian lahan potensial untuk tanaman rumput gajah (Pennisetum purpurium SCHUM) areal pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD

No
Kawasan
Kelas/Sub Kelas kesesuaian
Input (Perbaikan) dan tingkat input
Luas
Aktual
Potensial
ha
%
1
Blang Ubo-Ubo
S2wa,fh,nr
S2
Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, pemupukan NPK dengan tingkat input tinggi (HI)
560
15,1
2
Cot Seuribe
S2wa,fh,nr

S2wa,fh,lp,nr
S2
S2


Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, drainase, penambahan organik, mulsa, pemupukan dengan tingkat input tinggi (HI)
2945,24

54,76
79,4

1,50
3
Panca
S2wa,fh,nr
S2
Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, pemupukan dengan tingkat input tinggi (HI)
150
4,0
Total
3.710
100
Sumber: Hasil analisis (2008)

Tabel 8. Kelas kesesuaian lahan potensial untuk kelompok Leguminosa di areal pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD

No
Kawasan
Kelas/Sub kelas Kesesuaian
Input (Perbaikan) dan tingkat input
Luas
Aktual
Potensial
ha
%
1
Blang Ubo-Ubo
S2fh,nr
S2
Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, dan penambahan organik, mulsa, pemupukan NPK, dengan tingkat input sedang
560
15,1
2
Cot Seuribe
S2fh,nr

S2fh,lp, nr
S2

S2

Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, drainase, penambahan organik, mulsa, pemupukan dengan tingkat input sedang
2945,24

54,76
79,4

1,50
3
Panca
S2fh,nr
S2
Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, drainase, pemupukan NPK dengan tingkat input sedang
150
4,0
Total
3.710
100
Sumber: Hasil analisis (2008)





Tabel 9. Kelas kesesuaian lahan potensial untuk kelompok tanaman Setaria (Setaria spacelata) di areal pengembangan kawasan peternakan Kabupaten Aceh Besar
No
Kawasan
Kelas/sub kelas kesesuaian
Input (Perbaikan) dan tingkat input
Luas
Aktual
Potensial
ha
%
1
Blang Ubo-Ubo
S2fh,nr
S2
Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, pemupukan NPK dengan tingkat input sedang
560
15,1
2
Cot Seuribe
S2fh,nr

S2fh,lp, nr
S2

S2


Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, drainase, penambahan organik, mulsa, pemupukan dengan tingkat input sedang
2945,24

54,76
79,4

1,50
3
Panca
S2fh,nr
S2
Pengolahan tanah minimum, penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, pemupukan dengan tingkat input sedang
150

Jumlah

3.710
100
Sumber: Hasil analisis (2008)


kawasan peternakan. Pengembangan kawasan peternakan yang kompak untuk mengefisienkan pengembangan lahan dan tidak burupa spot-spot lokasi serta diupayakan untuk membentuk kawasan agribisnis peternakan.
Pengembangan kawasan peternakan ini meliputi kawasaan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe. Dari luasan kawasan yang direncanakan pengembangannya, ternyata persentase daya dukung kawasan untuk pengembangan peternakan masih sangat tinggi. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa dari seluruh potensi kawasan pengembangan yang direncanakan, ternyata hanya 4,93% di Blang Ubo-Ubo, 13,23% di Panca, dan 5,23% di Cot Seuribe yang baru dapat diberdayakan. Sedangkan sisanya 86,8% sampai 95,07% sampai saat ini masih belum tergarap samasekali. Selain itu, kawasan potensial ini masih mampu menampung ternak sapi sebanyak 5.751 sampai 11.952 UT dan kambing sebanyak 8.067 UT hanya dengan mengandalkan HMT yang tersedia dari padang pengembalaan.
Berdasarkan informasi ini dapat diperkirakan bahwa jumlah ternak yang masih dapat tertampung di kawasan Blang Ubo-Ubo dengan Cot Seuribee mencapai 18.661  UT, dan 8.067 UT di kawasan Panca. Hal ini dapat berarti bahwa jika mengikuti pola penguasaan ternak sebagaimana yang telah diterapkan BRR saat ini, maka jumlah KK yang masih memungkinkan untuk diikutsertakan dalam program pengembangan kawasan peternakan sapi di Kawasaan Blang Ubo-Ubo dan Cot Seuribe, masih berpeluang menyerap 4.665 KK (18.661:4), dan (b) sekitar 1.152 KK (8.067:7) untuk peternakan kambing di kawasan panca.  
Untuk menunjang kebutuhan pakan ternak dalam kawasan diperlukan system pengelolaan kawasan yang dapat menjamin persediaan HMT secara berkelanjutan dan kenyamanan ternak yang dikelola. Kawasan dimaksud terutama adalah lahan-lahan yang diperuntukkan sebagai lahan padang penggembalaan yang terdapat di kawasan pengembangan Blang Ubo-Ubo dan Cot Seuribe. Luas lahan padang penggembalaan yang memungkinkan dikembangkan di dalam kawasan peternakan mencapai 3.045,19 ha. Lahan-lahan ini dapat ditanami dengan jenis rumput makanan ternak dan pepohonan sesuai dengan kondisi iklim setempat dengan luas lahan dan jumlah tanaman shelter dapat dilihat dalam Tabel 13. Sudah diketahui bahwa pakan hijauan merupakan pakan utama ternak ruminansia. Menurut Jacoeb & Munandar (1991) komposisi pakan hijauan ternak rumanansia mencapai 73,8-94%  dari total penggunaan pakan, selebihnya berasal dari pakan konsentrat.
Tanaman pepohonan dimaksud berfungsi sebagai shelter bagi hewan ternak dan fungsi konservasi. Untuk itu sebaiknya dipilih dari jenis tanaman kemiri dengan jarak tanam 100x100m.

Tabel 10. Daya tampung ternak (Sapi Bali dan kambing PE) di Kawasan pengembangan Peternakan Kabupaten Aceh Besar
No
Kawasan
Daya Tampung
(UT)
Ternak yang
sudah ada
Potensi
Jumlah
(UT)
%
Jumlah
(UT)
%
1
Blang Ubo-Ubo
6.049
298
4,93
5.751
95,07
2
Panca
9.297
1.230
13,23
8.067
86.77
3
Cot Seuribe
12.612
660
5,23
11.952
94,77
Sumber: Hasil analisis tim penyusun (2008)

Tabel 11. Perkiraan jumlah tanaman shelter untuk padang penggembalaan di kawasan Pengembangan peternakan

No
Kawasan
Lahan (ha)
Tanaman Shelter
(batang)
Padang
Gembalaan
Kebun rumput dan lain-lain
1
Blang Ubo-Ubo
78,17
481,83
7.817
2
Panca
138,00
12,00
1.800
3
Cot Seuribe
2.829,02
170,98
202.902
Total
3.045,19
664,81
304.519
Sumber: Hasil analisis Tim Penyusun (2008)


Dengan merujuk pada ketentuan di atas, maka jumlah bibit tanaman kemiri untuk tanaman shelter yang dibutuhkan dalam kawasan peternakan ditaksir mencapai 290.719 batang dengan catatan di kawasan Panca saat ini belum membutuhkan shelter. Rekomendasi pemilihan jenis tanaman ini didasarkan pada: (a) kemiri sesuai dengan  dukungaan iklim dan kesuburan tanah, (b) bernilai ekonomi tinggi, (c) merupakan pohon yang berbentuk relatif tinggi dengan system perakaran dalam, (d) selain berfungsi shelter, juga berperan dalam konservasi tanah dan air.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan analisis agroekologi (iklim, topografi dan tanah), maka di daerah kawasan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe merupakan daerah yang cukup sesuai untuk pengembangan sapi dan kambing. Faktor pembatas penggunaannya adalah keterbatasan air, bahaya erosi, genangan dan kesuburan tanah yang rendah. Ketersediaan lahan masih memungkinkan untuk peningkatan produksi ternak melalui pendekatan intenfikasi, ataupun ekstensifikasi. Luas total areal yang telah terpakai untuk berbagai keperluan pengembangan saat ini 664,81 ha (17,92%). Luas areal cadangan yang masih potensial untuk dikembangkan untuk pengembangan peternakan masa mendatang 3.045,19 ha (82,08%). Dari seluruh potensi lahan kawasan pengembangan yang direncanakan, sudah diberdayakan hanya 4,93% di Blang Ubo-Ubo, 13,23% di Panca, dan 5,23% di Cot Seuribee, sisanya antara 86,8% sampai 95,07% belum tergarap secara optimal.
       Daya tampung ternak sapi di Blang Ubo-Ubo 6.049 UT, Cot Seuribe 12.612 UT, dan kambing di kawasan panca sebanyak 9.297 UT. Potensi daya tampung ternak sapi kawasan sebanyak 5.751 sampai 11.952 UT dan kambing sebanyak 8.067 UT. Jumlah ternak yang masih dapat tertampung di kawasan Blang Ubo-Ubo dengan Cot Seuribe mencapai 18.661  UT, dan 8.067 UT di kawasan Panca. Jumlah KK yang masih memungkinkan untuk diikutsertakan dalam program pengembangan peternakan sapi di Kawasaan Blang Ubo-Ubo dan Cot Seuribe masih berpeluang menyerap 4.665 KK (18.661:4), dan 1.152 KK (8.067:7) untuk peternakan kambing di kawasan Panca.

Rekomendasi
Untuk dapat meningkatkan produksi dikawasan pengembangan peternakan segera dikembangkan sarana dan prasarana baik aspek on-farm, maupun off-farm atau sarana dukungan lainnya.  Sarana yang sangat mendesak adalah pembangunan bak-bak penampungan air dalam jumlah dan ukuran yang memadai di kawasan cot seuribe. Perlu adanya penataan area penggembalaan (ranch), kebun rumput, serta pembangunan kontruksi kandang yang tepat ukuran dan tempat. Perlu penetapan status hukum kawasan pengembangan peternakan untuk menjamin keberlanjutan program. Peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan harus mendapat prioritas peningkatan terutama menyangkut dengan system pengelolaan pakan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Bamualim, A. 2004. Strategi pengembangan peternakan pada daerah kering, Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan, IPB., Bogor
Delgado C, Rosegrant M, Steinfeld H, Ehmi S & Courbois C. 1999.  Livestock to 2020: The next food revolution.  Washington – Rome – Nairobi: IFPRI – FAO – ILRI
Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar. 2005. Profil Kegiatan Sektor Peternakan. Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar, Kota Jantho.
Dinas Peternakan kabupaten Aceh Besar. 2007. Laporan Tahunan 2007. Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar, Kota Jantho.
Hadiprodjo, R. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak. BPFE. Yogyakarta.
Jacoeb, T.N. & S. Munandar. 1991. Petunjuk teknis pemeliharaan sapi potong, Dirjen Peternakan, Jakarta
Juanda. B. 2002. Pertumbuhan ekonomi dan pergeseran structural dalam industrialisasi di Indonesia. J. Ekon., Vo.9. IPB., Bogor
Mudumi. 1990 Pengelolaan Padang Pengembalaan Dalam Upaya Peningkatan Produksi Pakan. Skripsi Sarjana peternakan Faperta Uncen. Manokwari.
Muryanto, U., Nuschati, Subiharta, W. Dirdjapranoto, U. Kusnadi, & B.R. Prawiradiputra. 1995. Introduksi ternak kambing dan hijauan pakan ternak pada system usaha tani di lahan kering. Pros. Pertemuan ilmiah komunikasi dan penyuluhan hasil penelitian. Buku II. 271-277. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Semarang
Reksohadiprodjo, 1985. Produksi Hijauan Makanan ternak. BPFE., Yogyakarta
Saragih, B. 2000. Agribisnis berbasis peternakan. Kumpulan pemikiran. USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB, Bogor
Semiadi & Gono. 1986. Beberapa Tinjauan Kemungkinan budidaya rusa. Bul. Peternakan No. 1 Maret 1986. Faperta UGM. Yogyakarta.
Soehadji. 1995. Peluang usaha sapi potong. Makalah disampaikan pada seminar nasional Industri peternakan rakyat sapi potong di Indonesia, di Bandar lampung. Dirjen Peternakan, Jakarta
Subagio, I. & Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan, NUFIC. Universitas Brawidjaya, Malang


Diposkan oleh : lukman hakim
Sumber : http://muy4sir.wordpress.com/konservasi-sumber-daya-lahan/







0 komentar: