Minggu, 06 Mei 2012
Analyse
the Potency of land Resources for Development Ranch in Aceh Besar Regency
Muyassi1
Abstract
Have been conducted
research in Blang Ubo-Ubo, Panca, and Cot Seuribe Aceh Besar Regency as a mean
to know the potency of farm resource for the development of grass the livestock food, knowing energy
support the farm to set of ideal livestock unit as according to existing
resource ability, knowing technology of management of land resource to be can
be productive everlastingly. Result of research indicate that the area
represent the area which enough according to for the development of ranch.
Constrictor factor its use limitation irrigate the, erosion danger, and low fertility of the soil. The land
resource are very potential for the product increase of livestock of approach
intensification, and or extensification. Land resource potency which have used
to various development need 664,81 ha ( 17,92%), areal reserve which still be
potential for the development of ranch a period to coming reaching 3.045,19 ha
( 82,08%). From all planned development area potency, powered farm only 4,93%
in Blang Ubo-Ubo, 13,23% in Panca, and 5,23% in Cot Seuribe, the rest of
between 86,8% until 95,07% not yet optimal. Capacities accommodate the ox livestock in Blang Ubo-Ubo 6.049 UT,
Cot Seuribe 12.612 UT, and goat in Panca as much 9.297 UT. Potency of the
capacities accommodate the livestock of area ox as much 5.751 until 11.952 UT
and goat as much 8.067 UT. Sum up the livestock which admit of accommodated in
area of Blang Ubo-Ubo by Cot is Seuribe reach 18.661 UT, and 8.067 UT in Panca.
Keyword;
potency, Land reources, ranch, Aceh Besar.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor peternakan menjadi salah satu andalan pembangunan nasional maupun regional
dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat,
mengurangi kemiskinan, penyediaan produksi kebutuhan pangan dan perolehan
devisa (Juanda, 2002). Pembangunan kawasan peternakan merupakan strategi umum
untuk meningkatkan kesejahteraan peternak, meningkatkan daya saing produk
pertanian serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian (Saragih, 2000). Untuk
mewujudkan hal tersebut Pemerintah Daerah telah mendukung masyarakat serta stakeholder terutama pada daerah
potensil untuk pengembangan peternakan.
Pengembangan kawasan peternakan yang dicanangkan pemerintah memberikan
spirit yang sangat besar kepada masyarakat dalam memacu peningkatan pendapatan
dan kesejahteraannya dan sekaligus menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi
daerah. Selama satu dasawarsa terakhir sektor ini menjadi tiang ekonomi daerah, peranannya
cukup besar terhadap pembangunan struktur ekonomi Aceh Besar. Dalam kurun tahun
1996-2000 pertumbuhannya cenderung meningkat rata-rata 4,97% per
tahun.
Menurut Delgado et al. (1999)
bahwa di negara-negara berkembangan terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi
produk peternakan. FAO sejak
tahun 1999 sudah memprediksi akan terjadinya perubahan signifikan pada sektor
peternakan dunia. Ketika konsumsi daging dunia meningkat 2,9 %, maka di
negara-negara berkembang sudah melaju sampai 5,4%, bahkan di Asia Tenggara
mencapai 5,6%. Sementara di negara-negara maju hanya meningkat 1%. Sampai tahun
2020 diperkirakan pertumbuhan konsumsi daging negara-negara berkembang
rata-rata 2,8% per tahun, sementara di negara-negara maju hanya 0,6% per tahun.
Perkembangan terakhir di Aceh Besar menunjukkan pertumbuhan populasi
ternak besar mencapai 6-7%, ternak kecil 5-6%, dan unggas 8-9%. Data Dinas Peternakan
menunjukkan produksi daging mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga
daging sapi hampir 1.000 ton, daging kerbau 213.650 kg, daging kambing sekitar
400.000 kg.
Program pengembangan kawasan peternakan ini diharapkan menjadi salah satu model
pengembangan peternakan di Provinsi Aceh. Melalui program strategis ini akan
dapat meningkatkan produksi ternak sekaligus pendapatan dan kesejahteraan
petani, serta memberi dampak positif pada pengembangan sektor lain. Peran strategis peternakan yang utama adalah sebagai penyedia pangan
berkualitas, yakni sebagai sumber protein hewani yang turut mencerdaskan
bangsa, khususnya pada anak dan generasi penerus bangsa. Protein hewani
merupakan faktor yang tidak bisa dihilangkan atau digantikan dalam menu makanan
kita
Peran strategis peternakan
juga berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Pemerintahan telah menetapkan
tiga sasaran utama program penanggulangan kemiskinan, yakni; menurunnya
persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen
pada tahun 2009, terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau, dan
terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu.
Untuk itu telah diambil langkah-langkah
antisipatif berupa pola pengembangan peternakan industri dan peternakan rakyat secara
proporsional. Pemerintah kabupaten Aceh Besar
telah melakukan suatu terobosan yang tepat dengan peluncuran program
pengembangan kawasan peternakan yang
dipusatkan di Blang Ubo-ubo, Panca, dan Cot Siribee Kota Jantho. Kebijakan yang
bersifat percepatan pertumbuhan pembangunan pedesaan itu terasa sangat tepat
dan strategis. Karena telah terbukti sejak krisis moneter yang melanda
Indonesia (dan beberapa negara Asia lainnya) pada pertengahan 1997 telah
menimbulkan kontraksi perekonomian pada
semua sektor. Saat-saat krisis ini sektor pertanian (agribisnis) muncul sebagai
sektor penyelamat perekonomian nasional dari kebangkrutan. Hal ini menunjukkan
bahwa kebijakan pembangunan ekonomi
nasional dewasa ini belum memiliki landasan yang cukup kuat untuk
menyangga sistem perekonomian nasional (Nasution, 1999).
Pemerintah berupaya memperkuat ekonomi fundamental dan
sektor pertanian menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang utama. Sejak awal
pembangunan nasional berlangsung, sektor
agribisnis telah memberikan konstribusi yang tinggi dalam net ekspor nasional,
penyerapan dan penyediaan tenaga kerja serta penciptaan nilai tambah (value added). Oleh karena itu pemerintah
terus meningkatkan perhatian terhadap sektor ini yaitu dengan kebijakan program
pengembangan kawasan yang berbasis pertanian seperti sub sektor peternakan.
Tujuan
Kajian analisis potensi sumberdaya lahan untuk
pengembangan peternakan di Kabupaten Aceh Besar ini bertujuan untuk: (a) mengetahui
potensi sumber daya lahan untuk pengembangan hijauan makanan ternak, (b)
mengetahui daya dukung lahan terhadap satuan unit ternak yang ideal sesuai
dengan kemampuan sumberdaya yang ada, (c) mengetahui teknologi pengelolaan
sumberdaya lahan agar dapat berproduksi secara lestari.
Permasalahan
Beberapa permasalahan dalam pengembangaan kawasan
peternakan di Kabupaten Aceh Besar antara lain adalah: (a) Apakah sumber daya
lahan di kawasan pengembangan peternakaan Kabupaten Aceh Besar sesuai untuk
pengembangan beberapa jenis hijauan makanan ternak, (b) berapakah kemampuan
sumberdaya lahan di kawasan pengembangan dalam memampung ternak sapi sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya alam itu sendiri, dan (c) faktor
agro fisik dan lingkungan apa saja yang menjadi pembatas pemanfaatan sumber
daya lahan untuk pengembangan peternakan di Kabupaten Aceh Besar.
METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Penelitian
berlangsung dalam tiga kawasan di Kabupaten Aceh Besar yaitu; (a) kawasan Blang
Ubo-Ubo yang termasuk dalam Desa Saree Aceh Kecamatan Lembah Seulawah dengan
luas kawasan 560 ha, (b) kawasaan Cot Seuribe yang terdiri atas empat desa yaitu
Rabo, Cucum, Bareueh, dan Data Gaseu, juga masuk dalam Kecamatan Kota Jantho dengan
luas areal 2945,24, dan (c) kawasan desa
Panca yaitu Panca dan Panca Kubu yang termasuk dalam Kecamatan lembah Seulawah
dengan luas areal 150 ha. Penelitian telah berlangsung mulai Juni sampai
November 2008.
Metode Pelaksanaan
Secara umum, kegiatan penyusunan studi lanjutan
pengembangan peternakan Provinsi Aceh merupakan suatu kegiatan studi yang
dilakukan melalui pendekatan metode PRA (Participatory
Rural Appraisal), dan RRA (Rapid
Rural Appraisal). Penelitian dilakukan dengan proses pengkajian cepat dan
menghimpun segala data dan informasi secara partisipatif langsung ke sasaran
kegiatan. Data yang telah terkumpul lalu dianalisa statistik melalui pendekatan
kualitatif dan kuantitatif, hasilnya diinterpretasikan dan untuk selanjutnya
dilihat kecenderungan-kecenderungan.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data primer dilakukan dengan jalan observasi langsung (survey) lapangan untuk
mendapatkan gambaran fenomena secara faktual. Sebelum survey lapangan lebih
dahulu dilakukan persiapan-persiapan penyusunan administrasi, mobilisasi
personil, persiapan data dasar dan peta rencana kerja, penyediaan bahan dan
peralatan survey. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui kajian
kepustakaan, laporan, jurnal, dan media elektronik (internet).
Penelitian
ini juga menggunakan metode survey yang dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu
sebagai berikut; (1) pra survey atau survey pendahuluan untuk mendapatkan data
sekunder, (2) survey utama (lapangan) untuk mendapatkan data primer dan contoh
tanah untuk dianalisis di Laboratorium. Sampel tanah diambil secara acak pada
setiap titik yang ditentukan secara taktis dengan frekuensi pengambilan sekitar
1 sampel per 50 ha atau ditentukan berdasarkan heterogenitas wilayah. Contoh
tanah yang dianalisis merupakan contoh tanah komposit dengan aspek analisis tekstur tanah, pH, C-org,
N, P, K, dan KB. Hasil analisis contoh tanah di laboratorium, lebih lanjut dilakukan analisa
dan interpretasi untuk menilai tingkat kesuburan kimia tanah. Kriteria
interpretasi berpedoman pada kriteria yang dikeluarkan oleh Puslittanak (1993).
Satuan Peta dan Evaluasi Kesesuaian Lahan
Satuan Peta lahan (SPL) disusun
dengan jalan overley beberapa karakteristik lahan, dalam hal ini adalah unsur
kemiringan lahan (lereng), jenis tutupan/vegetasi atau penggunaan lahan, dan
jenis tanah. Rancangan survey lapangan disusun dan dilaksanakan berdasarkan SPL
dengan harapan hasil yang diperoleh lebih objektif. Padanan penyusunan hharkat
kesuburan tanah merujuk pada kriteria Interpretasi Sifat-sifat Kimia Tanah Menurut
Puslittanak (1993).
Analisis kesesuaian lahan
merupakan interpretasi data tanah dan fisik lingkungan yang tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan survey dan pemetaan tanah. Data satuan tanah dan lahan di daerah survey
digunakan dalam analisis melalui ekstraksi database land unit. Konsep dasarnya
adalah membandingkan karakteristik/kualitas lahan (land characteristics/quality) dengan persyaratan tumbuh tanaman (crop requirements), dalam hal ini adalah
tanaman rumput gajah, setaria, dan kelompok leguminosa.
Kapasitas Tampung Ternak
Penentuan kapasitas tampung
ternak terutama yang menyangkut dengan ketersediaan pakan atau ransum yang
diperhatikan adalah meliputi aspek-aspek sebagaimana pendekatan yang dilakukan
oleh Subagio dan Kusmartono, (1988) yaitu
sebagai berikut:
Penaksiran kuantitas produksi hijauan, dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai
frame berukuran bujur sangkar. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan secara
acak, ditentukan dengan melihat
homogenitas lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan. Hijauan yang terdapat dalam
areal frame dipotong lebih kurang 5 -
10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.
Penentuan Proper Use Factor. Konsep Proper
Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan,
tipe iklim setempat serta kondisi tanah padangan. Untuk penggunaan padangan ringan,
sedang, dan berat nilai PUF-nya
masing-masing adalah 25-30 %, 40-45 %, dan 60-70 %. Konsep ini digunakan
dalam menaksir produksi hijauan antara lain karena: (a) Erodibilitas lahan, yaitu jika lahan semakin mudah mengalami erosi
dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlau banyak hijauan
dipanen, (b) Pola pertumbuhan kembali hijauan. Bila hijauannya mempunyai pola pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya
tidak semua hijauan yang ada
diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara, dan
(c) Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang
akan dipelihara bahwa semakin banyak
jenis temak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan
tidak 100 % hijauan yang ada dapat dikonsumsi ternak,
Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, didasarkan
pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan. Misalnya: kebutuhan seekor ternak sapi dewasa adalah 40 kg rumput per
hari (10% dari bobot badan) maka per bulan diperlukan 40 kg x 30 = 1200
kg (1,2 ton) hijauan. Bila produksi hijauan 8
ton per ha, maka luas lahan yang dibutuhkan seekor sapi dewasa per bulan
adalah 1,2/8 = 0,15 ha.
Menaksir
kebutuhan luas tanah per tahun. Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang
telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi.
Masa ini disebut sebagai periode istirahat.
Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari. Untuk
menaksir kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus Voisin yaitu
sebagai berikut : (Y - 1)s = r
dimana : Y = Angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per tahun terhadap kebutuhan per bulan, s = Periode merumput, dan r = Periode istirahat
Kapasitas
Tampung. Pengukuran
kapasitas tampung sapi atau kamping atau domba dapat dilakukan dengan pendekatan seperti
pengukuran kapasitas tampung bagi ternak sapi yang disarankan oleh
Reksohadiprodjo (1985). Jenis ternak mempunyai hubungan erat dengan kebutuhan konsumsi pakannya. Menurut Semiadi (1998),
kebutuhan pakan untuk untuk ternak dewasa (sapi, kambing, domba) per harinya adalah 3.1 kg bahan
kering atau 10% dari berat badannya.
Kapasitas Tampung Padangan
Alam. Penghitungan kapasitas
tampung padang rumput alam dilakukan berdasarkan atas produksi hijauan yang dapat dikonsumsi. Urutan perhitungan adalah sebagai berikut (Reksohadiprodjo, 1985):
Produksi Hijauan (kg ha-1)
= Rata-rata BB cuplikan (kg m-2)*104
(m2 ha-1)
Hijauan tersedia (kg ha-1) = PUF * Produksi hijauan (kg ha-1)
Pada penelitian ini penggunaan lahan
padang penggembalaan atau Proper Use Factor (PU) diasumsikan pada tingkat
berbeda-beda antara Blang Ubo-Ubo, Panca dan Cot Seuribe.
Y adalah angka konversi luas
tanah yang dibutuhkan dari per bulan menjadi per tahun sebesar 3.33 berdasarkan rumus Voisin
yaitu :
dengan S adalah lama periode merumput yang
ditentukan selama 30 hari, dan R adalah lama
periode istirahat yang ditentukan selama 70 hari.
Kapasitas
tamping
Dari nilai kapasitas tampung ini selanjutnya dapat
dihitung kapasitas tampung total dan
kapasitas tampung bagi sapi atau kambing yaitu sebagai berikut : Kt = K*L., dimana
: K = Kapasitas Tampung (UT/ha), Kt
= Kapasitas tampung total (UT), L =
Luas padang rumput alam (ha)
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Potensi Agro Fisik
Luas
keseluruhan Kabupaten Aceh Besar adalah 2.974,12 km2 atau setara dengan 297.412 ha (Aceh Besar
Dalam Angka, 2006). Adapun rencana pengelolaan kawasan peternakan yang
dipusatkan di Blang Ubo-Ubo Kecamatan Saree Kabupaten Aceh Besar tahun 2008 ini
meliputi areal seluas 3.710 ha tersebar dalam beberapa desa dengan pusat
pengembangan sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa total luas
lahan yang dicadangkan untuk pengembangan kawasan peternakan Kab. Aceh Besar
pada tahun 2008 mencapai 3.710 ha. Lahan-lahan tersebut digunakan untuk
berbagai penggunaan seperti lahan perkebunan HMT, lahan penggembalaan dan
lahan-lahan untuk keperluan bangunan fisik seperti perkandangan, pesat
kesehatan hewan, pusat administrasi dan perkantoran, dan lahan rencana
pengembangan.
Kawasan pengembangan I terletak di Blang
Ubo-Ubo Desa Saree Aceh Kecamatan Lembah Seulawah diarahkan untuk pengembangan
sapi bali. Kawasan ini dikhususkan sebagai kawasan pengembangan pembibitan (breeding center) ternak sapi bali dengan
luas kawasan mencapai 560 ha. Kawasan pengembangan II dipusatkan di kawasan Cot
Seuribe, termasuk dalam kawasan ini adalah desa Rabo, Data Gaseu, Bareuh dan Cucum
dengan luas kawasan 3.000 ha. Kawasan ini juga diarahkan untuk kawasan
pembibitan ternak sapi bali model pengembangan padang
Tabel 1. Lokasi pengembangan kawasan peternakan Kabupaten Aceh
Besar Tahun 2008
No
|
Kecamatan
|
Pusat Kawasan
|
Desa pengembangan
|
Luas
|
|
Ha
|
%
|
||||
1
|
Lembah Seulawah
|
Kawasan I Blang
Ubo-Ubo
|
Saree Aceh
|
560
|
15,1
|
2
|
Kota Jantho
|
Kawasan II Cot
Seuribee
|
Rabo, Data
Gaseu, Cucum, Bareueh
|
3.000
|
80,9
|
Kawasan III
Panca
|
Panca, Panca
Kubu
|
150
|
4,0
|
||
Total
|
3.710
|
100
|
Sumber: Laporan Kegiatan Pengelolaan
pengembangan Kawasan Peternakan Provinsi NAD, hasil survey 2008.
pengembalaan dan penyediaan hijauan makanan ternak pola Cut dan carry dengan penanaman rumput unggul. Kawasan pengembangan III
diarahkan untuk pengembangan pembibitan kambing PE pola intensif dengan luas
areal sekitar 150 ha yang termasuk dalam desa Panca dan Panca Kubu.
Fisiografi dan Penggunaan Lahan
Hasil
analisis digitasi peta land sat yang
disertai hasil pengamatan dan pengukuran lapangan dengan menggunakan abney
level diketahui bahwa areal rencana pengembangan kawasan peternakan di
masing-masing lokasi mempunyai fisiografi datar sampai bergelombang dengan
kemiringan lahan dari 0-8%. Pengembangan
kawasan daerah Blang Ubo-Ubo dan Cot Seuribe mempunyai fisigrafi yang lebih
komplek yaitu datar sampai bergelombang, sedangkan daerah pengembangan kawasan
di daerah Panca mempunyai fisiografi datar. Lahan-lahan yang dicadangkan untuk pengembangan kawasan peternakan ke
depan yaitu areal lahan kering yang masih berupa padang alang-alang, tanah
tandus, dan semak belukar (Tabel 2).
Pola
penggunaan lahan demikian terdapat dalam tiga lokasi pengembangan kawasan yang
dapat dipertimbangkan untuk pengembangan kebun HMT dan padang pengembalaan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Bamualim (2004) bahwa pengembangan lahan kering
untuk peternakan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi
vegetasinya.
Luas areal
pengembangan kawasan yang telah dan direncanakan pengelolaannya dalam tahun
2008 hanya sekitar 664,81 ha (17,90%) yang terdiri atas 481,83 ha (13%) di
Blang Ubo-Ubo, 170,98 ha (4,6%) di Cot Seuribe, dan 12 ha (0,3%) di kawasan
Panca. Sedangkan sisa lahan lainnya masih berupa alang-alang, tanah tandus, dan
semak belukar merupakan lahan-lahan yang potensial untuk rencana pengembangan
kawasan pada tahun-tahun mendatang. Luas lahan yang dapat diperuntukkan untuk
tujuan dimaksud seperti di atas terdiri atas 78,17 ha (2,10%) tersebar sekitar
Blang Ubo-Ubo, 2.829,02 ha (76,30%) di Cot Seuribe, dan 138 ha (3,70%) di
kawasan Panca.
Kesesuaian Lahan
Kesesuaiaan lahan
adalah kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuan lahan
biasanya dievaluasi untuk dapat dilihat pada kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan
(improvement). Sehubungan dengan
luasan masing-masing areal pengembangan kawasan yang relatif homogen maka dalam
penyusunan kelas kesesuaian lahan hanya didasarkan pada analisis tapak rencana
penanaman HMT saja. Konsep dasarnya adalah membandingkan karakteristik/kualitas
lahan (land characteristics/quality)
dengan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan (land use/crop requirements), dalam hal ini adalah tanaman hijauan
makanan ternak (HMT).
Hasil analisis sampel
tanah komposit pada setiap lokasi pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD
memperlihatkan nilai yang hampir sama antara kawasan satu dengan kawasan lainnya.
Secara lengkap hasil analisis beberapa sifat tanah dimaksud disajikan dalam
Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa sifat kimia tanah areal pengembangan kawasan
peternakan Provinsi NAD yang tersebar di daerah Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot
Seuribe relatif sama. Kapasitas tukar kation (KTK) berkisar antara 9,50 s/d
20,10 me/100 g tanah) dan tergolong
Tabel 2. Luas penggunaan lahan di kawasan pengembangan Peternakan Kabupaten
Aceh Besar
No
|
Macam Penggunaan
|
Luas Kawasan
|
|||||
Blang Ubo-Ubo
|
Cot Seuribe
|
Panca
|
|||||
ha
|
%
|
ha
|
%
|
ha
|
%
|
||
1
2
3
4
5
6
|
Pemukiman
Kebun campuran
Sawah
Tegalan
Alang-alang, tanah tandus
Semak belukar
|
12,5
80,9
-
1,9
340,2
124,5
|
2,2
14,4
0,0
0,3
60,8
22,2
|
70,3
433,7
38,75
573,85
1216,4
667,0
|
2,3
14,5
1,3
19,1
40,5
22,2
|
3,4
21,7
30,3
0,5
60,8
33,4
|
2,3
14,5
20,2
0,3
40,5
22,3
|
Total
|
560
|
100
|
3.000
|
100
|
150
|
100
|
Sumber: Analisis
tim survey (2008)
Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia sampel tanah komposit areal
pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD
No
|
Karakteristik
Tanah
|
Kawasan
|
||
Blang
Ubo-Ubo
|
Cot Sribe
|
Panca
|
||
1
2
3
4
5
|
Kapasitas Tukar
Kation (me/100g)
Kejenuhan Basa
(%)
pH (H2O)
C-Organik (%)
Tekstur
|
20,10 (R)
36,00 (R)
5,94 (AM)
0,50 (SR)
Agak Halus
|
14,40 (R)
34,65 (R)
5,54 (AM)
1,36 (SR)
Agak halus
|
9,50 (R)
33,37 (R)
5,06 (AM)
1,56 (SR)
Agak halus
|
Sumber: Hasil analisis Labioratorium Kimia Tanah fakultas Pertanian
Unsyiah, 2008
dalam
kategori rendah. Persentase kejenuhan basa (KB)
berkisar antara 33,37% s/d 36% dan termasuk dalam kelas rendah, pH tanah
agak masam yaitu berkisar antara 5,06 s/d 5,94 dan kandungan bahan organik
tanah tergolong sangat rendah. Secara umum dapat diperkirakan bahwa tingkat
kesuburan tanah dimaksud termasuk dalam kategori rendah.
Kesesuaian
Lahan Aktual
Hasil analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman Hijauan
Makanan ternak (HMT) terdiri atas jenis rumput gajah, leguminosa, dan golongan
Sataria. Pedoman penyusunan kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing komoditi
dimaksud merujuk pada kriteria yang dikeluarkan oleh BPPT Bogor tahun 1993.
Rumput Gajah (Pennisetum purpurium SCHUM)
Hasil evaluasi lahan secara aktual untuk rumput gajah di daerah
pengembangan kawasan peternakan Aceh Besar dapat dilihat dalam Tabel 4. Diketahui
bahwa semua areal yang termasuk dalam daerah pengembangan kawasan peternakan
(Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe) termasuk dalam kelas cukup sesuai (S2)
dengan 2 (dua) sub kelas yaitu S2wa,fh,nr; dan S2wa,fh,lp,nr.
Lahan-lahan
dengan sub kelas S2wa,fh,nr mempunyai faktor pembatas ketersediaan air terutama
pada musim kemarau yang ditandai dengan rata-rata curah hujan tahunan 1.463,08
mm th-1, bahaya banjir pada musim penghujan yang berupa genangan
dengan kategori ringan (kedalaman banjir < 25 cm, dan lamanya banjir < 1
bulan), dan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Sebaran lahan ini terdapat di
kawasan Blang Ubo-Ubo, Panca, Panca Kubu, Cot Seuribe (kecuali desa Data Gaseu)
dengan total luas areal 3.655,24 ha (98,52%).
Keterbatasan
air yang dicirikan dengan rendahnya curah hujan menjadi kendala dalam
kontinyuitas produksi pakan hijauan ternak. Elemen lingkungan juga telah
menjadi kendala dalam sistem peternakan nasional. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Soehadji, 1995; dan Muryanto, et
al., 1995) bahwa permasalahan dalam penyediaan pakan hijauan ternak bagai
sebagaian besar ternak rakyat di Indonesia adalah kekurangan air terutama pada
musim kemarau.
Lahan-lahan
yang termasuk dalam kategori sub kelas S2wa,fh,lp,nr mempunyai faktor pembatas
tambahan selain yang telah disebutkan.
Faktor pembatas dimaksud adalah
kondisi lahan yang menyangkut dengan penyiapan lahan berupa batuan
permukaan yang mencapai 5-15% dengan ukuran beragam antara <0,5 -1,5 cm2.
Lahan ini terdapat di dalam kawasan Cot Seuribe yaitu desa Data Gaseu dengan
luas areal 54,76 ha (1,50%).
Kelompok Leguminosa
Hasil evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk areal pengembangan tanaman
hijauan makanan ternak dari kelompok leguminosa disajikan dalam Tabel 5.
Menurut Tabel tersebut diketahui bahwa areal lahan pengembangan kawasan
peternakan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe termasuk dalam kategori kelas
kesesuaian lahan cukukup sesuai (S2) dengan dua sub kelas kesesuaian yaitu S2fh,nr
dan S2fh,lp,nr.
Lahan-lahan
untuk penanaman hijauan makanan ternak dari jenis leguminosa dengan sub kelas S2fh,
nr mempunyai faktor pembatas penggunaan lahan berupa bahaya banjir dengan
kategori ringan yang ditandai dengan kedalaman banjir kurang dari 25 cm, dan
lamanya banjir kurang satu bulan, serta tingkat kesuburan tanah
Tabel 4. Kelas kesesuaian lahan aktual rumput gajah (Pennisetum purpurium SCHUM) di kawasan peternakan Kabupaten
Aceh Besar
No
|
Kawasan
|
Kelas/Sub Kelas
Kesesuaian
|
Desa
|
Luas
|
|
ha
|
%
|
||||
1
|
Blang Ubo-Ubo
|
S2wa,fh,nr
|
Saree Aceh dan
Areal
pengembangan
|
560
|
15,1
|
2
|
Cot Seuribe
|
S2wa,fh,nr
S2wa,fh,lp,nr
|
Rabo, cucum, Bareuh dan Areal cadangan pengembangan
Data Gaseu
|
2945,24
54,76
|
79,4
1,50
|
3
|
Panca
|
S2wa,fh,nr
|
Panca,Panca
Kubu, dan
Areal
pengembangan
|
150
|
4,0
|
Total
|
3.710
|
100
|
Sumber: Hasil
analisis (2008)
Keterangan
faktor pembatas; wa= ketersediaan air,
fh= bahaya banjir, nr= retensi hara, lp= penyiapan lahan
Tabel 5. Kelas kesesuaian lahan aktual kelompok Leguminosa di areal
pengembangan kawasan peternakan Kabupaten Aceh Besar
No
|
Kawasan
|
Kelas/Sub kelas
|
Desa
|
Luas
|
|
ha
|
%
|
||||
1
|
Blang Ubo-Ubo
|
S2fh,nr
|
Saree Aceh dan
Areal pengembangan
|
560
|
15,1
|
2
|
Cot Seuribe
|
S2fh,nr
S2fh,lp, nr
|
Rabo, cucum, Bareuh dan Areal
cadangan pengembangan
Data Gaseu
|
2945,24
54,76
|
79,4
1,50
|
3
|
Panca
|
S2fh,nr
|
Panca,Panca Kubu, dan
Areal pengembangan
|
150
|
4,0
|
Total
|
3.710
|
100
|
Sumber :
Hasil analisa (2009)
Keterangan
faktor pembatas; wa= ketersediaan air,
fh= bahaya banjir, nr= retensi hara, lp= penyiapan lahan
rendah.
Lahan-lahan sub kelas ini terdapat di kawasan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot
Seuribe (kecuali desa Data Gaseu) dengan total luas areal mencapai 3.655,24 ha
(98,52%).
Sub
kelas kesesuaian lahan S2fh,lp,nr juga
mempunyai faktor pembatas penggunaan berupa faktor lingkungan sebagaimana yang
telah disebutkan di atas. Selain faktor pembatas tersebut pada lahan sub kelas ini juga mempunyai faktor pembatas
penggunaan lainnya yaitu kondisi lahan yang dapat mempengaruhi penyiapan lahan
yaitu berupa batuann lepas yang tersebar pada permukaan tanah dengan persentase
antara 5-15%. Lahan dengan sub kelas ini hanya terdapat di kawasan Cot Seuribe
yaitu desa Data Gaseu dengan luas areal mencapai 54,76 ha (1,50%).
Rumput Setaria (Setaria spachelata)
Hasil evalusi
kesesuaian lahan untuk tanaman rumput jenis Setaria di areal pengembangan
kawasan peternakan Blang Ubo-Ubo, Panca dan Cot Seuribe diketahui bahwa secara
aktual lahan-lahan tersebut tergolong kelas cukup sesuai (S2) dengan 2 (dua)
sub kelas kesesuaian yaitu S2fh,nr dan S2fh,lp,nr. Masing-masing
kelas dan sub kelas kesesuaian lahan dimaksud telah diringkas dan disajikan
dalam Tabel 6. Lahan yang masuk dalam sub kelas S2fh,nr tersebar dalam kawasan
Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seeuribe (tidak termasuk Desa data Gaseu). Faktor
pembatas penggunaannya untuk budidaya tanaman rumput Setaria adalah berupa
bahaya banjir dengan kategori ringan, dan kandungan hara tanah yang rendah.
Lahan ini mempunyai luasan mencapai 3.655,24 ha (98,52%). Sedangkan lahan sub
kelas S2fh,lp,nr juga memiliki faktor pembatas seperti disebutkan di atas
dengan luasan 54,76 ha (1,5%), akan tepai ditambah lagi dengan faktor pembatas
lingkungan berupa bahaya banjir yang mengancam pada musim hujan.
Kesesuaian Lahan Potensial
Kesesuaian lahan
potensial adalah potensi perubahan kelas kesesuaian lahan aktual setelah faktor
penghambat penggunaan untuk tujuan tertentu diperbaiki. Hasil evaluasi
kesesuaian
Tabel 6. Kelas kesesuaian lahan aktual Setaria (Setaria spacelata)
di kawasan peternakan Aceh Besar
No
|
Kawasan
|
Kelas/sub kelas
|
Desa
|
Luas
|
|
ha
|
%
|
||||
1
|
Blang Ubo-Ubo
|
S2fh,nr
|
Saree Aceh dan
Areal pengembangan
|
560
|
15,1
|
2
|
Cot Seuribe
|
S2fh,nr
S2fh,lp, nr
|
Rabo, cucum, Bareuh dan Areal cadangan pengembangan
Data Gaseu
|
2945,24
54,76
|
79,4
1,50
|
3
|
Panca
|
S2fh,nr
|
Panca,Panca Kubu, dan
Areal pengembangan
|
150
|
|
Total
|
3.710
|
100
|
Sumber: Hasil analisis (2008)
lahan untuk penanaman hijauan makanan
ternak berupa rumput gajah, tanaman kelompok leguminosa, dan setaria di daerah
pengembangan kawasan peternakan disajikan dalam Tabel 7, 8, dan 9.
Menurut Tabel-tabel
tersebut dapat dilihat bahwa semua kelas kesesuaian lahan aktual tidak dapat
ditingkatkan kelas kesesuaiannya menjadi satu tingkat atau lebih tinggi dari
kelas kesesuaian lahan sebelumnya. Hal ini dikarenakan faktor penghambat
penggunaan lahan bersifat relatif permanen sehingga sangat sulit untuk
dimanipula pada skala lapangan. Faktor pembatas dimaksud adalah kondisi
lingkungan berupa unsur iklim yakni curah hujan rata-rata tahunan. Sedangkan
faktor kendala lain masih memungkinkan untuk dimanipulasi meskipun dengan
tingkat input yang tinggi. Faktor lingkungan ini adalah bahaya banjir atau
genanangan masih dapat diatasi dengan membuat saluran drainase dalam jumlah
yang kukup. Kandisi batuan permukaan yang menjadi penghambat penyiapan lahan
untuk penanaman HMT dapat ditempuh dengan praktek minimum tillage (olah tanah
minimum), dan tingkat kesuburan tanah yang rendah ditingkatkan dengan berbagai
jenis pemupukan baik pupuk alam ataupun pupuk buatan. Oleh karena itu kelas
kesesuaian lahan potensial untuk penanaman hijauan makanan ternak (HMT) berupa
rumput gajah, leguminosa, dan Setaria di lokasi pengembangan kawasan peternakan
Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot seuribee tetap berada pada kelas cukup sesuai
(S2) dengan sub kelas yaitu S2wa.
Sub kelas
kesesuaian lahan potensial tersebut tentu saja jika telah mengalami beberapa
perbaikan dengan tingkat input sedang sampai tinggi. Input-input tersebut berupa paket teknologi pengelolaan
tanah dan tanaman. Aspek yang menyangkut dengan pengelolaan lahan tersebut
adalah membuat saluran drainase pada lokasi yang berpotensi terkena banjir atau
genangan air. Pengolahan tanah minimum, pembuatan guludan dan pemupukan tanaman
HMT dengan pupuk alam dan buatan. Pupuk alam dapat dipakai Rock fosfat dan
pupuk kandang itu sendiri,sedangkan pupuk buatan berupa SP-36, Urea, dan KCl
dengan takaran 150-200 kg ha-1.
Rencana
Pengembangan Kawasan
Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya meliputi
budidaya pertanian (peternakan) dan budidaya non pertanian. Pengembangan
kawasan budidaya pertanian ini dilakukan berdasarkan kesesuaian lahannya dan
memperhatikan kondisi penggunaan lahan eksisting yang terdiri dari kawasan
peternakan, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan hutan produksi.
Sedangkan kawasan budidaya non-peternakan adalah berupa kawasan permukiman dan
perkantoran, zona pertambangan, dll. Pengelolaan kawasan pengembangan
peternakan dilakukan untuk memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk
aktivitas peternakan, dalam menghasilkan produksi daging atau ternak dengan
tetap memperhatikan kelestarian lingkungan untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Kriteria penetapan dan
pengelolaan kawasan peternakan meliputi; kawasan yang secara teknis
fisik dapat digunakan untuk pengembangan peternakan, kawasan yang sekarang
merupakan areal lahan basah atau kering (eksisting), terutama persawahan tadah
hujan, semak belukar, alang-alang dll yang sudah terlantar puluhan tahun dan
diupayakan dikonversi untuk membentuk
Tabel 7. Kelas Kesesuaian lahan potensial untuk tanaman rumput gajah (Pennisetum purpurium SCHUM) areal
pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD
No
|
Kawasan
|
Kelas/Sub Kelas
kesesuaian
|
Input
(Perbaikan) dan tingkat input
|
Luas
|
||
Aktual
|
Potensial
|
ha
|
%
|
|||
1
|
Blang Ubo-Ubo
|
S2wa,fh,nr
|
S2
|
Pengolahan tanah
minimum, penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, pemupukan NPK
dengan tingkat input tinggi (HI)
|
560
|
15,1
|
2
|
Cot Seuribe
|
S2wa,fh,nr
S2wa,fh,lp,nr
|
S2
S2
|
Pengolahan tanah
minimum, penanaman menurut kontur, drainase, penambahan organik, mulsa,
pemupukan dengan tingkat input tinggi (HI)
|
2945,24
54,76
|
79,4
1,50
|
3
|
Panca
|
S2wa,fh,nr
|
S2
|
Pengolahan tanah
minimum, penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, pemupukan
dengan tingkat input tinggi (HI)
|
150
|
4,0
|
Total
|
3.710
|
100
|
Sumber: Hasil analisis (2008)
Tabel 8.
Kelas kesesuaian lahan potensial untuk kelompok Leguminosa di areal
pengembangan kawasan peternakan Provinsi NAD
No
|
Kawasan
|
Kelas/Sub kelas Kesesuaian
|
Input (Perbaikan) dan
tingkat input
|
Luas
|
||
Aktual
|
Potensial
|
ha
|
%
|
|||
1
|
Blang Ubo-Ubo
|
S2fh,nr
|
S2
|
Pengolahan tanah minimum,
penanaman menurut kontur, dan penambahan organik, mulsa, pemupukan NPK,
dengan tingkat input sedang
|
560
|
15,1
|
2
|
Cot Seuribe
|
S2fh,nr
S2fh,lp, nr
|
S2
S2
|
Pengolahan tanah minimum,
penanaman menurut kontur, drainase, penambahan organik, mulsa, pemupukan
dengan tingkat input sedang
|
2945,24
54,76
|
79,4
1,50
|
3
|
Panca
|
S2fh,nr
|
S2
|
Pengolahan tanah minimum,
penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, drainase, pemupukan NPK
dengan tingkat input sedang
|
150
|
4,0
|
Total
|
3.710
|
100
|
Sumber: Hasil analisis (2008)
Tabel 9.
Kelas kesesuaian lahan potensial untuk kelompok tanaman Setaria (Setaria spacelata)
di areal pengembangan kawasan peternakan Kabupaten Aceh Besar
No
|
Kawasan
|
Kelas/sub kelas kesesuaian
|
Input (Perbaikan) dan
tingkat input
|
Luas
|
||
Aktual
|
Potensial
|
ha
|
%
|
|||
1
|
Blang Ubo-Ubo
|
S2fh,nr
|
S2
|
Pengolahan tanah minimum,
penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, pemupukan NPK dengan
tingkat input sedang
|
560
|
15,1
|
2
|
Cot Seuribe
|
S2fh,nr
S2fh,lp, nr
|
S2
S2
|
Pengolahan tanah minimum,
penanaman menurut kontur, drainase, penambahan organik, mulsa, pemupukan
dengan tingkat input sedang
|
2945,24
54,76
|
79,4
1,50
|
3
|
Panca
|
S2fh,nr
|
S2
|
Pengolahan tanah minimum,
penanaman menurut kontur, penambahan organik, mulsa, pemupukan dengan tingkat
input sedang
|
150
|
|
Jumlah
|
|
3.710
|
100
|
Sumber: Hasil analisis (2008)
kawasan peternakan. Pengembangan kawasan peternakan yang kompak untuk
mengefisienkan pengembangan lahan dan tidak burupa spot-spot lokasi serta diupayakan
untuk membentuk kawasan agribisnis peternakan.
Pengembangan
kawasan peternakan ini meliputi kawasaan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe.
Dari luasan kawasan yang direncanakan pengembangannya, ternyata persentase daya
dukung kawasan untuk pengembangan peternakan masih sangat tinggi. Berdasarkan
Tabel 8 diketahui bahwa dari seluruh potensi kawasan pengembangan yang
direncanakan, ternyata hanya 4,93% di Blang Ubo-Ubo, 13,23% di Panca, dan 5,23%
di Cot Seuribe yang baru dapat diberdayakan. Sedangkan sisanya 86,8% sampai
95,07% sampai saat ini masih belum tergarap samasekali. Selain itu, kawasan
potensial ini masih mampu menampung ternak sapi sebanyak 5.751 sampai 11.952 UT
dan kambing sebanyak 8.067 UT hanya dengan mengandalkan HMT yang tersedia dari
padang pengembalaan.
Berdasarkan
informasi ini dapat diperkirakan bahwa jumlah ternak yang masih dapat
tertampung di kawasan Blang Ubo-Ubo dengan Cot Seuribee mencapai 18.661 UT, dan 8.067 UT di kawasan Panca. Hal ini
dapat berarti bahwa jika mengikuti pola penguasaan ternak sebagaimana yang telah
diterapkan BRR saat ini, maka jumlah KK yang masih memungkinkan untuk
diikutsertakan dalam program pengembangan kawasan peternakan sapi di Kawasaan
Blang Ubo-Ubo dan Cot Seuribe, masih berpeluang menyerap 4.665 KK (18.661:4),
dan (b) sekitar 1.152 KK (8.067:7) untuk peternakan kambing di kawasan
panca.
Untuk menunjang
kebutuhan pakan ternak dalam kawasan diperlukan system pengelolaan kawasan yang
dapat menjamin persediaan HMT secara berkelanjutan dan kenyamanan ternak yang
dikelola. Kawasan dimaksud terutama adalah lahan-lahan yang diperuntukkan
sebagai lahan padang penggembalaan yang terdapat di kawasan pengembangan Blang
Ubo-Ubo dan Cot Seuribe. Luas lahan padang penggembalaan yang memungkinkan
dikembangkan di dalam kawasan peternakan mencapai 3.045,19 ha. Lahan-lahan ini
dapat ditanami dengan jenis rumput makanan ternak dan pepohonan sesuai dengan
kondisi iklim setempat dengan luas lahan dan jumlah tanaman shelter dapat
dilihat dalam Tabel 13. Sudah diketahui bahwa pakan hijauan merupakan pakan utama
ternak ruminansia. Menurut Jacoeb & Munandar (1991) komposisi pakan hijauan
ternak rumanansia mencapai 73,8-94% dari
total penggunaan pakan, selebihnya berasal dari pakan konsentrat.
Tanaman
pepohonan dimaksud berfungsi sebagai shelter bagi hewan ternak dan fungsi
konservasi. Untuk itu sebaiknya dipilih dari jenis tanaman kemiri dengan jarak
tanam 100x100m.
Tabel
10. Daya tampung ternak (Sapi Bali dan kambing PE) di Kawasan pengembangan
Peternakan Kabupaten Aceh Besar
No
|
Kawasan
|
Daya
Tampung
(UT)
|
Ternak
yang
sudah
ada
|
Potensi
|
||
Jumlah
(UT)
|
%
|
Jumlah
(UT)
|
%
|
|||
Blang
Ubo-Ubo
|
6.049
|
298
|
4,93
|
5.751
|
95,07
|
|
2
|
Panca
|
9.297
|
1.230
|
13,23
|
8.067
|
86.77
|
3
|
Cot
Seuribe
|
12.612
|
660
|
5,23
|
11.952
|
94,77
|
Sumber: Hasil
analisis tim penyusun (2008)
Tabel
11. Perkiraan jumlah tanaman shelter untuk padang penggembalaan di kawasan
Pengembangan peternakan
No
|
Kawasan
|
Lahan (ha)
|
Tanaman
Shelter
(batang)
|
|
Padang
Gembalaan
|
Kebun rumput
dan lain-lain
|
|||
1
|
Blang Ubo-Ubo
|
78,17
|
481,83
|
7.817
|
2
|
Panca
|
138,00
|
12,00
|
1.800
|
3
|
Cot Seuribe
|
2.829,02
|
170,98
|
202.902
|
Total
|
3.045,19
|
664,81
|
304.519
|
Sumber: Hasil analisis Tim Penyusun
(2008)
Dengan merujuk
pada ketentuan di atas, maka jumlah bibit tanaman kemiri untuk tanaman shelter
yang dibutuhkan dalam kawasan peternakan ditaksir mencapai 290.719 batang
dengan catatan di kawasan Panca saat ini belum membutuhkan shelter. Rekomendasi
pemilihan jenis tanaman ini didasarkan pada: (a) kemiri sesuai dengan dukungaan iklim dan kesuburan tanah, (b)
bernilai ekonomi tinggi, (c) merupakan pohon yang berbentuk relatif tinggi
dengan system perakaran dalam, (d) selain berfungsi shelter, juga berperan
dalam konservasi tanah dan air.
SIMPULAN DAN
SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis agroekologi (iklim, topografi dan
tanah), maka di daerah kawasan Blang Ubo-Ubo, Panca, dan Cot Seuribe merupakan
daerah yang cukup sesuai untuk pengembangan sapi dan kambing. Faktor pembatas
penggunaannya adalah keterbatasan air, bahaya erosi, genangan dan kesuburan
tanah yang rendah. Ketersediaan lahan masih memungkinkan untuk peningkatan
produksi ternak melalui pendekatan intenfikasi, ataupun ekstensifikasi. Luas
total areal yang telah terpakai untuk berbagai keperluan pengembangan saat ini
664,81 ha (17,92%). Luas areal cadangan yang masih potensial untuk dikembangkan
untuk pengembangan peternakan masa mendatang 3.045,19 ha (82,08%). Dari seluruh
potensi lahan kawasan pengembangan yang direncanakan, sudah diberdayakan hanya
4,93% di Blang Ubo-Ubo, 13,23% di Panca, dan 5,23% di Cot Seuribee, sisanya
antara 86,8% sampai 95,07% belum tergarap secara optimal.
Daya tampung ternak sapi di Blang Ubo-Ubo
6.049 UT, Cot Seuribe 12.612 UT, dan kambing di kawasan panca sebanyak 9.297
UT. Potensi daya tampung ternak sapi kawasan sebanyak 5.751 sampai 11.952 UT
dan kambing sebanyak 8.067 UT. Jumlah ternak yang masih dapat tertampung di
kawasan Blang Ubo-Ubo dengan Cot Seuribe mencapai 18.661 UT, dan 8.067 UT di kawasan Panca. Jumlah KK
yang masih memungkinkan untuk diikutsertakan dalam program pengembangan
peternakan sapi di Kawasaan Blang Ubo-Ubo dan Cot Seuribe masih berpeluang
menyerap 4.665 KK (18.661:4), dan 1.152 KK (8.067:7) untuk peternakan kambing
di kawasan Panca.
Rekomendasi
Untuk dapat meningkatkan produksi dikawasan
pengembangan peternakan segera dikembangkan sarana dan prasarana baik aspek on-farm, maupun off-farm atau sarana dukungan lainnya. Sarana yang sangat mendesak adalah
pembangunan bak-bak penampungan air dalam jumlah dan ukuran yang memadai di
kawasan cot seuribe. Perlu adanya penataan area penggembalaan (ranch), kebun rumput, serta pembangunan
kontruksi kandang yang tepat ukuran dan tempat. Perlu penetapan status hukum
kawasan pengembangan peternakan untuk menjamin keberlanjutan program.
Peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan harus mendapat prioritas peningkatan
terutama menyangkut dengan system pengelolaan pakan ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A. 2004. Strategi
pengembangan peternakan pada daerah kering, Makalah Seminar Nasional
Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan, IPB., Bogor
Delgado C, Rosegrant M, Steinfeld H,
Ehmi S & Courbois C. 1999. Livestock
to 2020: The next food revolution.
Washington – Rome – Nairobi: IFPRI – FAO – ILRI
Dinas Peternakan
Kabupaten Aceh Besar. 2005. Profil Kegiatan Sektor Peternakan. Dinas Peternakan
Kabupaten Aceh Besar, Kota Jantho.
Dinas Peternakan
kabupaten Aceh Besar. 2007. Laporan Tahunan 2007. Dinas Peternakan Kabupaten
Aceh Besar, Kota Jantho.
Hadiprodjo, R. 1985.
Produksi Hijauan Makanan Ternak. BPFE. Yogyakarta.
Jacoeb, T.N. & S. Munandar. 1991.
Petunjuk teknis pemeliharaan sapi potong, Dirjen Peternakan, Jakarta
Juanda. B. 2002. Pertumbuhan ekonomi
dan pergeseran structural dalam industrialisasi di Indonesia. J. Ekon., Vo.9.
IPB., Bogor
Mudumi. 1990
Pengelolaan Padang Pengembalaan Dalam Upaya Peningkatan Produksi Pakan. Skripsi
Sarjana peternakan Faperta Uncen. Manokwari.
Muryanto, U.,
Nuschati, Subiharta, W. Dirdjapranoto, U. Kusnadi, & B.R. Prawiradiputra.
1995. Introduksi ternak kambing dan hijauan pakan ternak pada system usaha tani
di lahan kering. Pros. Pertemuan ilmiah komunikasi dan penyuluhan hasil
penelitian. Buku II. 271-277. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Semarang
Reksohadiprodjo,
1985. Produksi Hijauan Makanan ternak. BPFE., Yogyakarta
Saragih,
B. 2000. Agribisnis berbasis peternakan. Kumpulan pemikiran. USESE Foundation
dan Pusat Studi Pembangunan IPB, Bogor
Semiadi & Gono.
1986. Beberapa Tinjauan Kemungkinan budidaya rusa. Bul. Peternakan No. 1 Maret
1986. Faperta UGM. Yogyakarta.
Soehadji. 1995. Peluang usaha sapi
potong. Makalah disampaikan pada seminar nasional Industri peternakan rakyat
sapi potong di Indonesia, di Bandar lampung. Dirjen Peternakan, Jakarta
Subagio, I. & Kusmartono. 1988.
Ilmu Kultur Padangan, NUFIC. Universitas Brawidjaya, Malang
Sumber : http://muy4sir.wordpress.com/konservasi-sumber-daya-lahan/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar