Minggu, 06 Mei 2012


Wisata Alam Subulussalam


Keindahan di Rindang Hutan Subulussalam
Suatu sore akhir Januari 2008 lalu, langit Kota Subulussalam mendung. Kota yang baru dimekarkan dari Kabupaten Aceh Singkil itu terlihat lengang. Kondisi seperti itu, banyak dimanfaatkan warga kota untuk menuju tempat wisata di kota yang dijuluki ‘jalan kesejahteraan’ itu.
Suatu sore akhir Januari 2008 lalu, langit Kota Subulussalam mendung. Kota yang baru dimekarkan dari Kabupaten Aceh Singkil itu terlihat lengang. Kondisi seperti itu, banyak dimanfaatkan warga kota untuk menuju tempat wisata di kota yang dijuluki ‘jalan kesejahteraan’ itu.

Sepanjang jalan tampak remaja berkendaraan santai. Suasana itu terekam di jalan lintas Subulussalam-Tapaktuan. Beberapa kenderaan tampak melaju ke arah timur kota. Sekitar 15 kilometer dari sana, sebuah lokasi wisata berada; Sungai Namo Buaya namanya. Sepanjang jalan, pohon sawit dan karet milik warga berjejer menambah sejuk suasana sore itu.
Menuju ke sana, tidaklah sulit. Ikuti saja jalan mulus beraspal ke arah Kabupaten Aceh Selatan. Lalu, tepat di depan perkebunan sawit milik warga Namo Buaya, berbeloklah ke kanan. Jalanan disini sedikit terjal dan berbatu. Jika mengendarai kendaraan roda dua, perlu hati-hati. Jalanan terjal dan menanjak harus dilalui untuk menuju obyek wsiata yang baru saja di buka oleh Pemerintah Kota Subulussalam itu. “Sebelumnya, tidak ramai pengunjung kemari. Sekitar akhir tahun 2007 lalu, baru dibuka dan mulai ramai dikunjungi oleh masyarakat,” sebut Saftiyah, warga Kota Subulussalam.
Melewati jalan terjal dan berbatu menjadi tantangan tersendiri bagi para pengunjung. Namun, tidak sedikit pula masyarakat yang berharap, agar jalan menuju obyek wisata sungai itu diperbaiki oleh pemerintah setempat. “Kalau diperbaiki mungkin akan lebih ramai pengunjung ke daerah ini,” sebut Dalfian Tanjung salah seorang pengunjung.
Sekitar dua kilometer masuk ke dalam, maka temukanlah papan kayu yang menjadi penunjuk jalan. Lalu ikutilah arah papan yang bertuliskan lokasi wisata irigasi tersebut. Masyarakat Subulussalam dan sekitarnya lebih sering menyebutkan obyek wisata ini dengan nama irigasi dibanding dengan nama Sungai Namo Buaya. Memang sungai itu juga digunakan sebagai saluran air (irigasi) untuk kecamatan Sultan Daulat dan sekitarnya.
Deras arus sungai terdengar menghanyutkan pengunjung dalam dekapan hutan Singkil tersebut. Tampak masyarakat bermandi ria di kawasan itu. Lokasi wisata ini sekilas mirip dengan kawasan wisata Bate Iliek di Kecamatan Samalanga, Bireuen yang terletak di jalur Banda Aceh – Medan. Keduanya, digunakan sebagai irigasi dan memiliki arus yang deras. Banyak anak-anak dan remaja berenang dengan menggunakan ban mobil di sungai yang jernih itu. Pantulan matahari sore memencarkan kilauan dari air sungai yang mengalir deras.
Namun, keindahan obyek wisata itu tidak didukung oleh fasilitas yang memadai, misalnya toilet. Tidak ada toilet khusus yang tersedia di daerah itu. Bayangkan jika pengunjung ingin buang air kecil.
Solusinya, harus ke sungai yang mengalir deras. “Karena masih baru, belum dibuka toilet,” ujar salah seorang pedagang makanan ringan di sana.
Meski begitu masyarakat tampak memadati kawasan itu. Bahkan, sebut Saftiyah, jika hari libur, masyarakat tumpah ruah ke sana. “Kalau hari libur banyak sekali pengunjung. Mungkin karena airnya bersih, jernih dan derasnya lumayan,” sebut Dalfian Tanjung.
Jika ingin mencoba kedalaman sungai itu, silahkan terjun dari papan yang telah disediakan. Ketinggian papan dari permukaan air sekitar lima meter. Beberapa pengunjung tampak menguji nyali dan meloncat bebas ke dalam air dari papan tersebut. “Nikmat, airnya sangat sejuk. Segar,” ujar Rina Hastuti, pengunjung lainnya. Selain itu, jika ingin mengarungi derasnya arus sungai itu, maka sewalah ban mobil. Harganya hanya Rp5.000 per jam. Namun, jika pengunjung lagi sepi, ban tersebut dapat dipakai sepuasnya dengan harga Rp5.000 sampai bosan.
Jika ingin berkunjung ke lokasi wisata ini, maka bawalah bekal sekucupnya. Maklum, obyek wisata dalam hutan Singkil itu, tidak menyediakan makanan ringan yang cukup. Hanya ada dua warung yang menyediakan makanan dan minuman ringan di sana. Itupun dengan harga yang relatif mahal. “Kami lebih memilih membeli makanan di Subulussalam daripada disini,” ujar Rina.
Obyek wisata irigasi, memang bukan satu-satunya obyek wisata di Kota Subulussalam. Masih ada obyek wisata yang tersimpan dalam perut bumi kota yang baru lahir itu. Sederet wisata yang lain; Air Terjun Nantampuk Mas, ESKPC dan Penuntungan. Kondisinya kurang lebih sama dengan kawasan wisata irigasi. Kurang fasilitas.
Pada Air Terjun Nantampuk Mas misalnya, jalanan menuju ke sana sangat sulit. Tanah liat harus dilalui. Bayangkan jika keluar dari air terjun dan hujan turun. Tanah liat itu sangat sulit dilalui kendaraan roda dua. “Kita berharap agar semua infrastruktur akan diperbaiki. Termasuk obyek wisata ini. Bukankah pemasukan dari sini lumayan banyak,” ujar Dalfian Tanjung diplomatis. Senja mulai turun. Satu-satu masyarakat tampak meninggalkan kawasan wisata irigasi itu. “Khawatir kalau hujan. Longsor dan susah keluar dari sini,” ujar Saftiyah.
Begitulah kondisi wisata Kota Subulussalam. Wisata yang masih butuh sumperhatian dan promosi ekstra dari pemerintah setempat. Karena wisata yang indah tersebut tersembunyi dalam perut bumi Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Tanpa promosi, masyarakat di luar Subulussalam tidak akan tahu, bahwa alam di sana masih perawan dan menyimpan segudang keindahan.

di poskan oleh : Lukman hakim
sumber :http://subulussalamkota.wordpress.com/wisata/

1 komentar:

andriansyah mengatakan...

https://www.youtube.com/watch?v=fFxUbxeam08 coba rafting di lae kombih subulussalam gaess...