Sabtu, 05 Mei 2012
SERANGGA DAN LINGKUNGAN
Prof Ir Rudy C Tarumingkeng, PhD
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pendahuluan
Kurang lebih 1 juta
spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu pengetahuan), dan hal
ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup yang mendominasi
bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum
dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan
tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan
mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi
dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di padang pasir dan
Antarktika.
Walaupun ukuran badan
serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang
demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity
(keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat.
Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera,
berbagai macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu
gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan
hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap),
peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata.
Satu-satunya ekosistem
di mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di samudera. Serangga juga
memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan perilaku.
Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat
dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga
merangkap sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil
serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga.
Ukuran badannya yang
relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih
mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga
memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman
genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan
banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat
mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida.
Beberapa jenis
serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah madu, ulat sutera,
kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami hama atau serangga perusak tanaman,
pemakan detritus dan sampah, dan bahkan sebagai makanan bagi mahluk lain,
termasuk manusia. Tetapi sehari-hari kita mengenal serangga dari aspek
merugikan kehidupan manusia karena banyak di antaranya menjadi hama perusak dan
pemakan tanaman pertanian dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit
seperti malaria dan demam berdarah. Walaupun demikian sebenarnya serangga
perusak hanya kurang dari 1 persen dari semua jenis serangga. Dengan mengenal
serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia
mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini.
Keanekaragaman yang
tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam
lingkungannya, dan demilkian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka
bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun
terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya,
bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian
ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk
mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.
Anatomi serangga
Serangga pada umumnya
ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Jaringan otot dan
organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan tubuhnya, integumen
serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang cahaya, tekanan, bunyi,
temperatur, angin dan bau.
Pada umumnya serangga
memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (“dada”) dan abdomen (“badan”).
Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan dan rangsangan syaraf
, serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai macam bagian mulut serangga
seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat Lepidoptera, penusuk-pengisap
(kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap (lalat), belalai-sifon
(kupu-kupu dang ngengat).
Toraks yang terdiri
atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki (sepasang pada setiap
ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas kedua dan ketiga. Bentuk
kaki bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali (jangkrik, Gryllidae),
menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan (semut, Formicidae) dsb.
Fungsi utama abdomen
adalah untuk menampung saluran pencernaan dan alat reproduksi. Anatomi
internal serangga dicirikan oleh peredaran darah terbuka, adanya
saluran-saluran atau pipa pernapasan dan tiga bagian saluran pencernaan.
Serangga memiliki
jantung dan aorta tetapi darah beredar bebas di dalam rongga badannya. Udara
memasuki tubuhnya melalui spirakel (lobang-lobang) pada dinding badannya, melaui
system pipa yang becabang-cabang ke seluruh tubuh.
Saluran pencernaan
terdiri atas tiga bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Sistem syaraf
terdiri atas otak di kepala dan simpul-simpul syaraf di bagian toraks dan
abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan memberikan perintah-perintah ke
organ-organ fungsional lainnya seperti otot dan kelenjar-kelenjar.
Pengetahuan tentang
struktur dan fungsi dari eksoskeleton serangga merupakan aspek penting karena
berguna untuk pengembangan formulasi insektisida yang mampu menembus integumen
serangga yang berlapis.
Kajian-kajian tentang
komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa kimia yang
berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme dalam
menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones) dan
banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik,
misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi
(atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon sintetik
ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni
dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan dan untuk
pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang dalam pengendalian hama berfungsi
membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi perkawinan, dan
berakibat pada penurunan populasi hama.
Struktur bagian mulut
serangga digunakan juga dalam taktik pengendalian hama, terutama dalam aspek
selektivitas. Misalnya jika suatu serangga hama daun memiliki tipe mulut
mengunyah maka insektisida digunakan dengan cara penyemprotan pada permukaan
daun. Cara ini hanya efektif jika daun dimakan hama sedangkan dengan kontak
saja tidak efektif. Perlu dipertimbangkan juga akan adanya serangga yang
bersifat musuh alami dari hama yang perlu dihindarkan dari bahaya insektisida.
Karena serangga
bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen, penyumbatan spirakel
akan meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida berbasis minyak merusak
integumen (yang bahan utamanya adalah kutikel).
Ada pula bakteri yang
menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus thuringiensis. Komponen
bakteri ini seperti spora kini telah diproduksi dan dikemas sebagai
insektisida thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit saluran pencernaan
pada serangga. Sebagian besar insektisida yang digunakan sekarang
merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya secara kimia dikembangkan dari
produk-produk alamiah seperti piretroida.
Contoh feromon
sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk mengendalikan serangan
rayap pada bangunan dengan jalan menarik (attracting); rayap yang
tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya ke sarang
koloni, menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan kemudian punah.
Reproduksi serangga
Kebanyakan serangga
memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada beberapa spesies jarang
terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musim-musim tertentu saja. Dalam
keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa bereproduksi. Hal ini umum
di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis penyengat
(Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi
menjadi betina.
Apa pula spesies yang
tak memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya setiap telur
mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan banyak embrio (polyembryony),
sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur; namun ada pula jesis-jenis yang
telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga melahirkan seperti ovipar,
pada Aphids (kutu daun).
Pertumbuhan serangga dan perkembangan (Metamorfosis)
Pertumbuhan serangga
biasanya melalui empat tahap bentuk hidup yaitu: telur, larva / nimfa,
pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara tunggal, atau dalam kelompok,
di dalam atau di atas jaringan tanaman atau binatang inang yang menjadi sasaran
makanan serangga. Embrio di dalam telur berkembang menjadi larva atau
nimfa (tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur
pada saat telur menetas.
Larva/nimfa memiliki
tahapan perkembangan (instar), yang setiap tahapannya melalui proses pergantian
kulit (ecdysis), karena setiap meningkatan ukuran tubuh pada satu instar
ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar (sama halnya
dengan anak yang bertumbuh memerlukan pakaian yang ukurannya lebih besar).
Larva berkembang menjadi pupa (pada ulat kup-kupu disebut cocoon atau
kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa.
Dua macam perkembangan
yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu metamorfosis sempurna atau
holometabola yang melaui tahapan-tahapan atau stadium: telur – larva – pupa –
dewasa, dan metamorfosis bertahap (hemimetabola) yang melalui stadium-stadium:
telur – nimfa – dewasa.
Pada hemimetabola,
bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum berkembang dan habitat (tempat
tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama dengan habitat stadium dewasanya.
Contoh hemimetabola adalah jenis-jenis kepik seperti walang sangit, yang
nimfanya menempati habitat yang sama dengan kepik dewasa, biasanya pada
daun. Jenis-jenis belalang (Orthoptera) dan lipas (Blattaria) juga termasuk
hemimetabola, nimfa dan stadium dewasanya hidup dan makan pada habitat yang
sama.
Kumbang (Coleoptera),
kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) dan semut serta lebah (Hymenoptera) adalah
serangga holometabola. Bentuk pradewasa (larva dan pupa) jenis-jenis
holometabola ini sangat berbeda dengan stadium dewasanya. Perhatikanlah
bentuk-bentuk larva seperti ulat bulu, ulat hijau, ulat jengkal yang kelak
menjadi pupa dan kemudian menjadi kupu-kupu indah dan berwarna-warni. Habitat
larva bisanya sangat berbeda dari habitat dewasanya. Ulat makan daun sedangkan
kupu mengisap cairan bunga. Demikian pula, larva lebah madu dipelihara oleh
pekerja (dalam koloni), makan madu; tapi lebah dewasa yang bersayap terbang
mencari serbuk bunga sebagai makanannya.
Serangga metabola,
setelah stadium larva memasuki tahapan pupa yang “tidak aktif” (tidak makan),
terbungkus dalam kulit kepompong yang disebut puparium yang berfungsi sebagai
pelindung.
Serangga termasuk
berdarah dingin, sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi suhu
lingkungannya. Di daerah-daerah beriklim dingin pertumbuhannya lambat,
sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia pertumbuhan serangga relatif
cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi di daerah beriklim panas
lebih banyak daripada di daerah dingin.
Dengan mempelajari
perilaku pertumbuhan serangga para pakar pengendalian hama serangga mengembangkan
cara-cara pengendalian dengan menggunakan pengatur tumbuh (insect growth
regulators, IGR). Salah satunya adalah pengendalian dengan hormon
pertumbuhan, yang mengganggu pembentukan kutikel pada saat ganti kulit. Cara
ini sangat efektif dan selektif (tidak mengganggu serangga yang bukan sasaran)
karena hanya mempengaruhi serangga sasaran.
Dinamika pertumbuhan
serangga hama tanaman budidaya telah benyak diteliti dan daripadanya dihasilkan
model-model pertumbuhan yang dapat digunakan untuk meramalkan saat-saat
terjadinya epidemi pada tanaman atau inang tertentu, sehingga tindakan
pengendalian dapat dilaksanakan secara lebih tepat.
Identifikasi dan klasifikasi serangga
Pengetahuan mengenai
klasifikasi serangga diperlukan agar jenis-jenis serangga yang demikian
banyaknya dapat dibedakan. Misalnya, dari sekian banyak serangga yang menjadi
hama tanaman padi, perlu diketahui jenis-jenisnya, karena mereka memiliki
perilaku hidup yang berbeda, menyerang bagian tanaman yang berbeda (daun, buah,
batang, akar) menyebabkan kerugian yang berbeda sehingga berbeda pula cara
penanganannya.
Pada umumnya
spesies-spesies serangga dibedakan sesuai dengan kemiripan dalam penampakannya.
Jenis-jenis lalat misalnya, dibedakan dari kupu-kupa berdasarkan karakter
sayap. Lalat hanya memilki sepasang sayap, sedangkan kupu-kupu dua pasang.
Secara hirarki,
dikenal taksa-taksa (taxon, taxa) dalam klasifikasi, oleh karenanya maka
ilmu mengenai penggolongan jenis-jenis mahluk hidup biasanya disebut taksonomi (taxonomy).
Taksonomi ulat kubis misalnya adalah sebagai berikut:
·
Filum (Phylum) - Arthropoda
·
Kelas - Insecta
·
Ordo - Lepidoptera
·
Famili - Plutellidae
·
Genus - Plutella
·
spesies - Plutella xylostella
Dengan demikian nama
spesies Plutella xylostella berlaku universal bagi ulat
kubis di seluruh dunia.
Ekologi serangga
Ekologi adalah
disiplin kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan lingkungannya.
Mengetahui kelimpahan (abundance) serangga (hama) yang menyerang tanaman
tertentu serta pengetahuan tentang kegiatan dan penampilan hama tersebut
(phenology) merupakan factor-faktor penting dalam menentukan
pengendaliannya. Beberapa hama memiliki hanya satu generasi pada satu
musim (univoltine), sedangkan ada pula yang banyak generasi per musim (multivoltine).
Dalam pengendalian
hama berkonteks agrosistem biasanya hama dianggap sebagai populasi.
Atribut-atribut penting populasi adalah kerapatan, distribusi umur, laju
kelahiran dan laju kematian.
Dinamika populasi
Di bumi ini tak ada
satupun yang tidak berubah. "Semua berubah dari waktu ke waktu; tak ada
yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri". Demikian ucap Heraklitus
500 tahun S.M. Oleh perubahan juga maka kita mengenal jenis-jenis hayati dan individu-individu
populasi yang ada sekarang — termasuk di dalamnya eksistensi (dan status) kita
sebagai bagian dari populasi hayati di bumi. Dan mungkin kita menyesali jika
suatu saat karena ulah manusia sendiri atau bukan, ada jenis (spesies) tertentu
punah. Bahkan juga mungkin kita merasa berkeberatan jika ada jenis lain yang
tak diinginkan muncul. Perubahan yang terjadi di bumi sebagian besar melibatkan
populasi jenis-jenis hayati di mana manusia termasuk di dalamnya. Tetapi
manusia pula yang dianggap bertanggung jawab untuk "memulihkan"
perubahan atau lebih etis jika dikatakan mengendalikan perubahan agar
"berubah" ke arah lebih menguntungkan manusia – agar cukup
tersedia populasi spesies-spesies hayati seperti tanaman padi, ternak sapi, populasi
ikan di laut dan di danau, semuanya untuk pasokan pangan. Tapi kita tak
menginginkan jika populasi tikus di Jakarta menjadi demikian banyaknya sehingga
jumlahnya melebihi jumlah penduduk Jakarta sendiri (walaupun perkiraan itu
mungkin benar) atau patogen koli (salah satu penyebab penyakit saluran
pencernaan manusia) di sungai-sungai dan perairan menjadi demikian meningkat
dan mengancam kesehatan kita, sehingga dari waktu ke waktu perlu dikendalikan
(perlu diubah). Apa yang dikemukakan merupakan topik populasi dan perubahan,
atau singkatnya – dinamika populasi.
Perkembangan ilmu dan
teknologi yang berlangsung demikian cepatnya masa kini diiringi oleh pengurasan
sumber-sumber alam dalam bentuk populasi hayati yang cenderung semakin
meningkat dan dampaknya pun semakin terasa. Dampak-dampak yang merupakan akibat
perubahan-perubahan status sistem sumber-sumber hayati sepanjang dimensi waktu
kehidupan manusia dari generasi ke generasi, termasuk konteks ilmu perilaku
alam — yang perlu dikuasai dengan teknologi, termasuk metode-metode
kuantitatif/ numerika. Tanpa analisis kuantatif rasanya tak mungkin manusia
dapat meramalkan dampak-dampak kualitatif akibat perubahan-perubahan perilaku
manusia dalam ia memanfaatkan dan mengelola sumber daya alamnya. Upaya ini
merupakan salah satu jawaban atas tantangan-tantangan yang dihadapi yang tak
dapat tidak dilakukan melalui ilmu dan teknologi juga.
Masalah populasi
mencakup sistem hayati apa saja yang ada di bumi ini dan sehari-hari mungkin
menjadi pembicaraan bahkan menjadi isyu politik dan pembangunan. Jelaslah bahwa
apa yang dimaksud dengan sistem dalam pembahasan selanjutnya tak lain dari
sistem populasi dalam konteks populasi hayati yang menghuni bumi ini seperti
jenis-jenis tetumbuhan (tanaman budidaya, pohon dsb.), satwa liar, ikan, ternak
dan jasad renik seperti bakteria dan protozoa baik yang kini diketahui
bermanfaat maupun yang diketahui tak bermanfaat atau bahkan merugikan yang
semuanya dikenal sebagai sumber daya hayati yang bertumbuh sehingga
terus-menerus mengalami perubahan.
Sistem pertumbuhan
populasi dikaji menurut perjalanan waktu tertentu dan menurut laju tertentu,
sehingga ia tunduk pada kaidah-kaidah dinamika. Demikian pula ekosistem yang
terbentuk dari populasi serta lingkungan fisiknya senantiasa berubah dan
bertumbuh sepanjang waktu. Pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial, proses
pendidikan dan bahkan proses pembangunan merupakan contoh-contoh lain yang
memerlukan berbagai analisis yang didasarkan atas kaidah-kaidah perubahan
(dinamika) dengan mempertimbangkan sumberdaya hayati awal, laju pertumbuhan dan
batas-batas pertumbuhan (kemampuan sumber serta daya dukung lingkungan),
pengaruh-pengaruh lain dari lingkungan dan sistem-sistem terkait lainnya.
Suatu keunggulan (advantage)
bagi ekologi masakini adalah tidak seperti 40 tahun yang lampau, ekologi baru
merupakan masalah "akademik" yang dibicarakan di sekolah atau
institusi yang berkaitan, kini ekologi telah menjadi perbincangan khalayak dan
merupakan isyu pembangunan, karena kesadaran akan dampak-dampak masalah ekologi
semakin memasyarakat. Khalayak juga telah menyadari akan terbatasnya
sumber-sumber alam seperti hutan, tanah dan air, terancamnya perairan,
komunitas-komunitas dalam ekosistem dan sebagainya. Masalah-masalah yang
berkaitan dengan keterbatasan sumber, usaha-usaha pelestarian dalam hubungannya
dengan keanekaragaman hayati — dan yang kini populer dengan ungkapan
pemungutan hasil berasaskan kelestarian sumber, — perlu dipecahkan oleh para
pakar sumberdaya berdasarkan analisis yang mendalam dan pengetahuan yang
komprehensif karena ramifikasi sistem dan komponen lingkungan serta sumberdaya
hayati yang sangat kompleks dan dinamis tidaklah sesederhana konstruksi fisik.
Hal ini merupakan salah satu kendala dalam pengkajian masalah lingkungan dan
sumberdaya hayati.
Dalam kaitan dengan
hubungan inang-parasitoid atau mangsa-pemangsa, model teoretik dinamika
pertumbuhan "mangsa” (sumberdaya) dan dinamika "pemangsa"
(pemungut hasil, the exploiter), dapat dikaji lebih lanjut bagi
pemecahan pemanfaatan sumberdaya alam berasaskan kelestarian dalam konteks
manajemen populasi sumber daya hayati untuk keperluan pembangunan umat manusia.
Lebih jauh, masalah keseimbangan dan kestabilan populasi dan ekosistem
merupakan salah satu kajian kunci bagi analisis kelestarian dan keanekaragaman
hayati.
Ekologi dan studi
populasi
Studi populasi dan
ekosistem merupakan bagian dari ekologi. Sejak tahun 1960-an telah banyak
diterbitkan buku-buku teks ekologi. Di antara sekian banyak buku-buku ekologi
yang digunakan untuk subyek ini antara lain dapat diacu Odum (edisi ketiga,
1971), Watts (1973), Southwick (1976), Price (1975), Krebs (1978) dan
Begon, Harper dan Townsend, (edisi kedua, 1990).
Sejak zaman dahulu
orang telah mengamati masalah-masalah ekologi tetapi istilah ekologi sendiri
belum digunakan pada waktu itu. Masyarakat primitif telah menggunakan tumbuhan
dan hewan di sekitar mereka untuk keperluan hidupnya. Peradaban manusia secara
bertahap tumbuh sejak manusia mulai menggunakan api dan alat-alat untuk
mengubah lingkungannya bagi kepentingan kelangsungan hidupnya. Kemajuan
penguasaan manusia terhadap alam sejalan dengan berkembangnya peradaban yang
berarti juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan
teknik-teknik pemanfaatan sumber-sumber alam secara lebih efisien. Pertumbuhan
peradaban juga menyebabkan penduduk dunia semakin meningkat dan hal ini
diiringi oleh berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber-sumber alam yang
dieksploitasi manusia. Proses-proses perubahan yang bersifat dinamik ini lambat
laun menginsyafkan manusia bahwa sumber-sumber alam yang persediaannya terbatas
perlu dikelola secara lestari agar hasil yang diperoleh dari padanya tak
mengalami penurunan, akan tetapi tetap berlanjut (sustainable) dan
sumber-sumber alam hayati yang digunakan diusahakan untuk dapat dibaharui
(renewable).
Tulisan-tulisan
mengenai ekologi pada zaman dahulu muncul dalam konteks ilmu hewan, ilmu
tumbuhan dan/atau ilmu hayat. Pada abad ke 4 sebelum Masehi filsuf Aristoteles
mencoba menjelaskan masalah-masalah epidemi hama belalang dan tikus yang sering
mengancam tanaman pertanian Yunani. Dalam bukunya Historia Animalium,
Aristoteles menjelaskan bahwa terjadinya ledakan hama tikus disebabkan oleh
laju pertumbuhan populasi tikus yang tak terkendalikan oleh musuh-musuh
alaminya, dan pada waktu itu manusia tidak sanggup mengatasinya. Menurut
Aristoteles, hanya hujan deraslah yang dapat menghempaskan populasi tikus itu
sampai mati dan mengalirkannya ke sungai-sungai dan selanjutnya ke laut. Plato
dan Herodotus juga dalam tulisan mereka menyinggung mengenai alam dan
sumber-sumbernya yang mampu menjamin berlangsungnya kehidupan spesies-spesies
mahluk hidup. Mereka menganggap bahwa kerapatan populasi atau jumlah individu
dari setiap spesies tidak banyak berubah sepanjang waktu. Jika terjadi ledakan
populasi yang dapat membawa bencana, hal ini disebabkan oleh tindakan dewa-dewa
untuk menghukum orang-orang yang hidupnya tidak berkenan kepada para dewa.
Penulis-penulis ini beranggapan bahwa dalam alam terdapat keseimbangan, dan
keselarasan (harmony) sehingga tidak akan ada spesies yang dapat punah
karena kepunahan spesies akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan keselarasan
dalam alam. Anggapan ini mungkin cukup berdasar pada zaman Plato karena pada
waktu itu manusia belum banyak melakukan perubahan-perubahan dalam
ekosistemnya.
Jadi, apa yang
dikemukakan oleh filsuf-filsuf zaman dahulu merupakan pemikiran pada zaman itu
mengenai ekologi, walaupun istilah ekologi belum digunakan sampai dengan abad
ke 19. Istilah “oekologi" pertama kali dimunculkan pada tahun 1869 oleh
ahli ilmu hayat bangsa Jerman, Ernst Haeckel. Oekologi atau ekologi berasal
dari kata Junani oikos yang berarti rumah, dan logos yang artinya pengetahuan.
Ekologi biasanya didefinisikan sebagai hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Karena ekologi berkaitan dengan biologi kelompok-kelompok
makhluk hidup dan proses-proses fungsional yang berlangsung di darat, di
lautan, di perairan dan di udara maka ekologi merupakan kajian terhadap
struktur dan fungsi alam, di mana manusia merupakan bagian utama dari padanya.
Ekologi dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pola-pola hubungan antara
makhluk hidup dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan hidup mempengaruhi
keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup atau
keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan sebaliknya keaneka‑ragaman dan
banyaknya makhluk hidup juga menentukan keadaan lingkungan. Misalnya, kualitas
dan kuantitas penutupan tanah oleh hutan ditentukan oleh banyaknya jenis pohon
yang ada dalam hutan yang bersangkutan. Hutan Pinus merkusii yang
cenderung berkembang dalam formasi sejenis (hutan pinus "monokultur")
membentuk serasah yang proses humifikasinya lebih lambat sehingga sangat kurang
memberikan peluang bagi pertumbuhan tumbuhan bawah. Di lain pihak, proses
pertumbuhan hutan tropik yang pada umumnya terdiri atas berbagai spesies pohon,
menghasilkan serasah dengan humifikasi yang cepat dan menumbuhkan berbagai
jenis tumbuhan bawah. Hutan tropik yang lebat ini memberikan konservasi lahan
yang lebih baik karena tingkat erosi tanah menjadi sangat berkurang, air hujan
dapat diserap lebih banyak ke dalam tanah sehingga pada musim penghujan tidak
mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai sekitarnya.
Demikian pula,
ekosistem hutan tropik yang memiliki komunitas dengan keanekaragaman hayati
yang tinggi merupakan habitat bagi pelbagai makhluk hidup seperti bakteria,
lumut, rayap dan berbagai satwa liar. Keanekaragaman dan jumlah makhluk hidup
yang ada dalam ekosistem hutan menjamin keadaan lingkungan yang baik.
Dari uraian ini jelas bahwa ekologi merupakan keseluruhan pola hubungan
timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungan.
Dewasa ini dengan
berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan dan berkembangnya
penekanan-penekanan khusus sesuai dengan keperluan pembangunan, maka
kajian-kajian ekologi juga berkembang demikian rupa sehingga kita kini mengenal
berbagai macam ekologi seperti ekologi kependudukan, ekologi perairan, ekologi
hutan, ekologi pertanian, ekologi serangga dan bahkan ekologi perkotaan dan
sebagainya. Kemajuan-kemajuan dalam ilmu-ilmu dasar (matematika, biologi,
kimia, fisika dan statistika) sebagai dasar pengembangan teknologi telah banyak
berjasa dalam perkembangan ekologi terutama sekitar 40 tahun terakhir. Kemajuan
teknologi yang pada satu sisi telah menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan,
pada sisi lain merupakan tumpuan harapan manusia dalam upayanya mengelola
lingkungannya secara lebih baik.
Kajian ekologi antara
lain dapat dipelajari dengan membagi lingkungan hidup (environment) atau
biosfer (biosphere) dalam beberapa bagian sesuai dengan
komponen-komponen atau bagian yang membentuk lingkungan yaitu:
1. Lingkungan
fisik atau abiotik,
2.
Lingkungan hayati atau biotic
3.
Lingkungan fisik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere) atau
lapisan kerak bumi termasuk tanah) yang mencakup tipe tanah, bahan induk, serta
parameter-parameternya seperti struktur, tekstur, sifat-sifat fisik, kimia dan
kesuburan), hidrosfer (hydrosphere), yang meliputi lautan dan perairan
lainnya dengan parameter-parameter: arus, kedalaman, salinitas, keasaman (pH),
kandungan bahan-bahan, suhu dll.) dan atmosfer (atmosphere, udara:
iklim, cuaca, angin, suhu dll.).
4.
Lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk
dari semua fungsi hayati makhluk-makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya
saling berinteraksi. Asosiasi atau hubungan-hubungan fungsional antar makhluk
hidup dapat dikaji dalam berbagai tahapan. Misalnya ada studi mengenai satu
makhluk hidup dan seluruh populasinya, ada pula studi yang mencakup seluruh
komunitas yaitu kajian atas interaksi berbagai populasi dalam satu daerah
tertentu.
Perkembangan ekologi
yang berkaitan dengan dinamika populasi walau berkembang agak lambat tetapi
cukup konsisten. Dapat dikatakan walaupun sejak dahulu pada waktu-waktu
tertentu orang telah tertarik kepada masalah sensus penduduk, teori-teori
populasi baru berkembang pesat pada abad ke-19. Memang dasar-dasar studi
populasi telah ada sejak abad ke 17 tetapi kajian-kajian yang lebih mendalam
baru mulai mendapat perhatian setelah para ahli mulai memikirkan masalah
keterbatasan sumber daya (bahan makanan, perumahan dsb.) dalam hubungannya
dengan peningkatan penduduk.
Sepanjang sejarah
dunia sejak abad-abad pertama bangsa-bangsa di Eropah dan Asia Kecil telah
mengenal sensus atau penghitungan jumlah penduduk. Antara lain karena para
penguasa ingin mengetahui besarnya pajak yang dapat dipungut dari rakyatnya dan
berapa besar angkatan perang yang dapat dikerahkan untuk menaklukkan
daerah-daerah sekitar yang dapat dijangkau untuk melebarkan daerah jajahan.
Konsep-konsep mengenai
analisis kependudukan baru mulai muncul pada abad ke 17 di Inggeris. Pada tahun
1662 Graunt mengemukakan argumentasi mengenai pentingnya data sensus penduduk
untuk menentukan laju kelahiran, laju kematian, nisbah kelamin (sex ratio)
dan struktur umur untuk mengukur potensi pertumbuhan penduduk, dan ia
berkesimpulan bahwa walaupun tanpa imigrasi penduduk London pada waktu itu akan
meningkat dua kali setelah 64 tahun.
Anthonie van
Leeuwenhoek, yang dikenal sebagai penemu mikroskop karena kegemarannya
memeriksa makhluk-makhluk renik, juga gemar mengamati perkembangan binatang
kecil seperti kumbang beras, lalat carrion dan kutu kepala manusia. Ia
menghitung banyaknya telur yang diletakkan oleh lalat carrion betina dan
menyimpulkan bahwa dalam tiga bulan sepasang lalat tersebut dapat menghasilkan
746.496 lalat.
Dalam bukunya berjudul
Natural History, Buffon pada tahun 1756 (vide Krebs, 1978) mengemukakan
bahwa setiap populasi makhluk hidup mengalami proses yang sama. Antara lain
dikemukakan, walaupun tingkat keperidian (fertilitas) suatu organisme mungkin
sangat tinggi tetapi bahaya yang mengancam populasinya juga besar. Lebih jauh
ia mengemukakan bahwa ledakan populasi yang sewaktu-waktu terjadi pada tikus
lapangan sebagian dapat ditekan oleh penyakit dan kekurangan makanan. Demikian
pula, jika tidak terdapat penyakit yang mengancam populasi kelinci, maka
kelimpahan populasi kelinci akan mengubah setiap padang rumput yang ada di
dunia menjadi padang pasir. Buffon menolak hipotesis Aristoteles mengenai
ledakan populasi tikus lapangan yang dapat ditekan oleh hujan deras. Akan
ikhwal kelimpahan populasi tikus, seperti halnya dengan kelinci, ia berpendapat
bahwa epidemi tikus lapangan kemudian menurun karena timbulnya wabah penyakit.
Ternyata bahwa masalah-masalah yang telah dikemukakan oleh Buffon mengenai hama
dan penyakit pada pertengahan abad ke 18 itu masih saja merupakan masalah kita
sekarang — 250 tahun sesudahnya.
Perlu pula disinggung
mengenai teori demografi yang kontroversial dari Malthus. Dalam bukunya Essay
on Population Malthus menghitung, walaupun jumlah individu suatu organisme
dapat berkembang secara geometrik (deret ukur: 1, 2, 4, 8 …) tetapi
sumber-sumber makanan tidak melampaui pertumbuhan aritmatik (deret hitung: 1,
2, 3, 4 …). Besarnya perbedaan dalam pola peningkatan kedua model ini
menyebabkan Malthus mengambil kesimpulan bahwa perkembangbiakan populasi
makhluk hidup akan dikendalikan oleh kemampuan makhluk hidup itu untuk
menghasilkan bahan makanan baginya. Peningkatan bahan makanan secara aritmatik
yang diberikan oleh Malthus memang merupakan hipotesis yang kurang berdasar,
tetapi sampai saat ini, 200 tahun setelah teori Malthus dicetuskan, kita masih
saja mempermasalahkan implikasi-implikasi teori itu, antara lain kendali-kendali
apa yang dapat dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk yang memang
tidak sesederhana pertumbuhan menurut pola geometrik seperti yang
dihipotesiskan oleh Malthus itu. Salah seorang yang mempertanyakan teori
Malthus adalah Doubleday (vide Krebs, 1978). Berdasarkan pengamatannya terhadap
perkembangan populasi manusia, pada tahun 1841 ia mengemukakan suatu teori
bahwa jika suatu spesies terancam populasinya maka kesuburannya akan meningkat.
Teori ini didasarkan atas beberapa kenyataan yang diamatinya pada saat itu
yaitu adanya orang-orang yang gizinya kurang akan tetapi tingkat kesuburannya
lebih tinggi dari orang-orang yang makanannya berkelimpahan. Doubleday
menjelaskan bahwa penurunan kesuburan pada orang-orang yang makanannya melimpah
disebabkan oleh kelebihan mineral dalam tubuhnya. Walaupun apa yang diamati
oleh Doubleday mungkin dapat kita amati sekarang namun pendekatan yang
digunakannya untuk menjelaskan masalah ini kini dianggap kurang tepat.
Quetelet, seorang ahli
statistika Belgia adalah yang pertama kali mengetengahkan teori mengenai
terjadinya penekanan populasi sebagai akibat peningkatan populasi secara
geometrik. Pada tahun 1838, salah seorang mantan muridnya, Verhulst,
menggambarkan peningkatan suatu populasi terhadap waktu, yang ia namakan kurva
logistik dalam bentuk S.
Konsep yang
dikemukakan oleh Verhulst telah membuka jalan bagi perkembangan studi populasi
sampai pada tahap yang dicapai sekarang. Kelak dalam bab-bab berikut teori yang
mendasari kurva logistik serta implikasi-implikasinya akan dikaji lebih
mendalam.
Populasi
Populasi adalah
sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang
tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan
interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu
tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Adapun sifat-sifat
khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan (densitas), laju
kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur,
potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Dalam
studi populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer kriteria
yang membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti
dapat secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada
persemaian Paraseriathes falcataria di Saradan, populasi banteng (Bos
sondaicus} di Baluran, populasi rayap kayu kering (Cryptotermes
cynocephalus Light) di gedung-gedung Kampus Universitas Pakuan, Bogor dan
seterusnya.
Dari segi populasi,
ekologi dapat didefinisikan sebagai hubungan antara kerapatan biomas populasi
dengan lingkungan, interaksi antar (inter) populasi dan dalam (intra)
populasi, serta efek populasi terhadap lingkungan.
Tingkatan organisasi
Seperti telah
dikemukakan terdahulu populasi adalah sekelompok individu dari suatu spesies
pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu (limited and defined) dan
pada waktu tertentu sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik dan hayati
yang mempengaruhi populasi, termasuk interaksi antara individu dalam populasi
dan antar individu spesies-spesies yang berbeda.
Dem (deme)
adalah populasi setempat (local population) yang merupakan sekelompok
individu di mana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu
memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool).
Spesies adalah himpunan populasi-populasi yang memiliki gene pool yang
sama. Tingkatan organisasi yang lebih tinggi adalah komunitas sebagai populasi
dari berbagai spesies yang hidup pada satu wilayah tertentu, sedangkan
ekosistem adalah komunitas bersama-sama dengan lingkungan fisiknya.
Ekosistem-ekosistem regional seperti daerah padang rumput, hutan hujan tropik
dan hutan gugur daun adalah bioma (biome).
Sistem kehidupan atau
sistem hayati (life system) adalah suatu satuan ekologi yang merupakan
bagian dari ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan dan evolusi dari
populasi tertentu. Dari segi ini, ekosistem dapat dianggap sebagai himpunan
sistem-sistem kehidupan yang saling mengunci (interlocking life system).
Jaring-jaring makanan,
rantai makanan dan hubungan trofik
Makanan sebagai sumber
energi adalah salah satu komponen esensial untuk kelangsungan hidup yang dapat
membatasi pertumbuhan populasi. Hubungan trofik merupakan pola hubungan
produksi dan konsumsi bahan makanan antar spesies dalam ekosistem, atau dalam
ungkapan sederhana: apa yang dimakan oleh suatu makhluk dan siapa yang memakan
makhluk yang bersangkutan. Jika ini diteruskan dengan beberapa spesies maka
terbentuklah suatu rantai atau bahkan beberapa rantai yang saling berhubungan
dan membentuk jaring-jaring, yang dikenal sebagai rantai makanan atau
jaring-jaring makanan. Pola hubungan aras trofik (trophic levels) tampak
sangat sederhana tetapi kenyataan menunjukkan bahwa jaring-jaring makanan dapat
menjadi sangat kompleks.
Dari segi hubungan
trofik, makhluk hidup dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu autotrof
atau makhluk hidup yang memperoleh energi dari sinar matahari dan/atau
sumber-sumber non-hayati, dan heterotrof yang memperoleh energi dari
sumber-sumber hayati (makan makhluk hidup lain). Sinar matahari merupakan
sumber utama penghasil makanan melalui proses fotosintesis. Makhluk hidup utama
yang bertindak sebagai produsen (autotrof) adalah tumbuhan (termasuk
beberapa jenis bakteria), yang dapat memanfaatkan sinar matahari untuk
membentuk makanannya (seperti tumbuhan yang memiliki klorofil), dan/atau dapat
memanfaatkan bahan-bahan non hayati di sekitarnya untuk makanannya. Sedangkan
konsumen (heterotrof) adalah semua jenis makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan
dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen.
Sistem hubungan trofik
dapat diberikan contoh, tegakan jati yang diserang rayap inger-inger (Neotermes
tectonae Damm.), sedangkan inger-inger sendiri menjadi mangsa semut dan
semut dimangsa oleh burung. Contoh lain adalah ayam yang memangsa cacing tanah,
dimangsa oleh musang, sedangkan musang dimangsa oleh harimau. Pada contoh kedua
ayam berada pada posisi ketiga (karena cacing tanah makan humus yang berasal
dari serasah bahan tumbuhan) sedangkan musang keempat, dan harimau kelima.
Dalam contoh ini baik ayam, musang dan harimau adalah karnivora (makhluk
pemakan hewan) tetapi sebenarnya ayam yang makan cacing tanah tidak mutlak
termasuk karnivora melainkan omnivivora (yang dapat makan tumbuhan maupun
hewan) sedangkan harimau dan musang lebih bersifat karnivora. Sebagaimana
halnya ayam, manusia juga termasuk omnivora karena kita gemar makan kambing dan
ayam dan sekaligus juga nasi, jagung dan sayur kubis. Herbivora (makhluk
pemakan tumbuhan) adalah konsumen primer, sedangkan karnivora dapat
dikategorikan kepada konsumen sekunder dan tertier. Serangga biasanya berada
pada posisi kedua dan ketiga dalam rantai makanan.
Berbagai hewan
memiliki perilaku makan yang berbeda menurut musim. Misalnya serigala
Spitzbergen di dekat kutub Utara pada musim dingin bersifat saprofag (memakan
sisa-sisa jasad hidup yang telah mati) di perairan beku, sedangkan pada musim
panas memangsa burung-burung, serangga dan tumbuhan. Beberapa jenis serangga
berperilaku makan yang berbeda pula pada tahap-tahap perkembangannya. Serangga
holometabola seperti kupu-kupu jelas menunjukkan sifat ini. Nyamuk pada stadium
larva makan jasad renik dalam air, pada stadium dewasa mengisap darah
vertebrata. Karena makanan seringkali tidak tersedia dalam kuantitas yang
memadai, serangga holometabola (yang mengalami metamorfosis sempurna seperti
Lepidoptera Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera) yang makanannya berbeda pada
stadium larva dan imago selalu menghindar dari persaingan makanan dalam
spesiesnya (intra-spesies). Sifat adaptasi ini menyebabkan keberhasilan
eksistensi serangga holometabola, yang mencakup 85 persen dari seluruh spesies
serangga. Sisanya (15 persen) adalah serangga hemimetabola yang pada stadium
dewasa dan pradewasa memiliki morfologi dan perilaku makan yang sangat mirip
satu dengan yang lain.
Studi populasi
bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam
studi ini acapkali dipergunakan model untuk menjelaskan sistem serta
hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Model adalah simplifikasi dari suatu sistem, yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Untuk menyatakan bahwa
hama kutu loncat, Heteropsylla sp. pada lamtoro (Leucaena spp.)
misalnya tahun depan tidak akan menjadi wabah lagi karena menurut ramalan
cuaca, hujan yang turun tahun depan di bawah normal. Dengan curah hujan yang
kurang, pucuk lamtoro sebagai makanan kutu akan berkurang, pemangsa kutu loncat
(Curinus coeruleus) akan menurun populasinya dan mungkin akan kesulitan
memperoleh mangsa yang lain. Dengan berkurangnya predator, kemungkinan pada
musim kemarau tahun berikutnya populasi kutu akan naik. Turun naiknya populasi
kutu daun berlangsung terus dalam bentuk siklus dua tahunan sehingga kurva
trayektori populasi berlangsung turun naik (osilasi). Dasar-dasar pernyataan
yang bersifat deskriptif ini telah memadai, jika faktor penentu naik turunnya
populasi kutu loncat semata-mata hanya faktor curah hujan dan pemangsanya.
Untuk mendapatkan
model yang lebih baik, wawasan kajian perlu diperluas dengan memasukkan
faktor-faktor lain seperti informasi mengenai pengaruh curah hujan yang tinggi
terhadap pertumbuhan lamtoro, musuh-musuh lain dari kutu lamtoro (parasit,
parasitoid), kemungkinan imigrasi individu kutu loncat dari tempat lain, sifat
genetik dan perilaku kutu loncat, dan seterusnya. Karena faktor yang menentukan
naik turunnya populasi organisme tidak semata-mata hanya tergantung pada curah
hujan dan pemangsanya saja. Berbagai faktor perlu diketahui kemudian dicari
besarnya pengaruh setiap faktor terhadap faktor yang lain yang juga mungkin
merupakan faktor yang menentukan untuk faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
populasi obyek yang kita kaji.
Penelitian ekologi
populasi merupakan pencarian jawaban atas berbagai pertanyaan seperti bagaimana
perilaku pertumbuhan populasi jenis hayati A ? Bagaimana nasib hutan hujan
tropik Indonesia nanti setelah tahun 2000 ? Atau, berapa pengaruh hutan kita
dalam memasok oksigen di atmosfer pada tahun 2020 ? Banyak jawaban atas
masalah-masalah seperti disebutkan di atas dapat diberikan secara deskriptif
tetapi ketepatan (atau lebih tepat bila dikatakan kesimpulan yang mendekati
tepat) cenderung lebih mudah untuk diyakini bila semua pengaruh, kaitan,
fungsi, derivasi dan kecenderungan perilaku yang kita kaji itu dianalisis
dengan metode kuantitatif agar kesimpulan yang diambil tidak terlampau samar-samar,
dan ketidak-tepatan yang dihasilkan dapat diumpan-balikkan kepada proses kajian
kita untuk diulangi kembali sehingga diperoleh hasil yang lebih tajam.
Kepustakaan:
Begon, M, J.L. Harper
dan C. L. Townsend (1990). Ecology: Individuals, Populations and Communities. 2nd
Ed. Blackwell Sci. Publ. , Boston, Oxford etc. 945 p.
Hoffmann, M.P. and
Frodsham, A.C. (1993) Natural Enemies of Vegetable Insect Pests. Cooperative
Extension, Cornell University, Ithaca, NY. 63 pp.
Insect Biology and
Ecology: A Primer.
http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html (Cornell University), dikunjungi 15 Desember 2000.
http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html (Cornell University), dikunjungi 15 Desember 2000.
Krebs, C.J. (1978).
Ecology: The experimental Analysis of Distribution and Abundance, 2nd
Ed.. Harper & Raw Publ., New York etc. 678 p.
Meyer, John R. ;
Department of Entomology, NC State University, ENT 425 http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425 , dikunjungi 1 November 2000.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar