Sabtu, 05 Mei 2012


PESTISIDA RAMAH LINGKUNGAN


Masalah resurgensi hama wereng paa tanaman padi yang terjaddi pada akhir dekade 1970-an telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kemajuan pembangunan pertanian di Indonesia. Pengalaman ini mengajarkan bahwa pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) yang hanya mengandalkan pestisida sistesis akan berdampak buruk dimasa yang akan dating, seperti resurgensi hama dan pencemaran lingkungan.
Pada tahun 1986 pemerintah akhirnya menetapkan pengelolaan hama terpadu (PHT) sebagai program nasional melalui Intruksi Presiden No. 3 tahun 1986 yang merupakan upaya untuk mengantisipasi dampak buruk pemakaian pestisida sintesis. Kebijakan ini di ikuti dengan pengurangan subsidi secara bertahap untuk pestisida dan pada bulan Januari 1989 subsidi pestisida dihapuskan sama sekali.
PHT merupakan metode pengendalian serangan OPT dengan cara memanfaatkan seluruh sumber daya yang tersedia untuk menekan populasi OPT hingga mencapai taraf yang tidak merugikan. Setiap keputusan dan tindakan yang diambil dalam bercocok tanam selalu bertujuan untuk meminimalisasi serangan OPT , sekaligus merugikan bahaya yang ditimbulkan terhadap manusia, tanaman dan lingkungan.
Konsep PHT disusun berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem pertanian. Hal-hal yang menjadi perhatian utama diantaranya hubungan antara tanaman dan lingkungan fisik, seperti tanah dan kondisi iklim, hubungan antara OPT dan tanaman, hubungan antara OPT dengan musuh alami, serta hubungan antara OPT dan lingkungan fisik. Interelasi tersebut akan sangat mempengaruhi penyusunan program PHT di lapangan.
Keberhasilan pelaksanaan PHT sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia yang mengelola pertanian. Karenanya, Departemen Pertanian telah menyediakan Sekolah Lapangan Pengelolaan Hama terpadu (SLPHT) untuk para petani. Pengetahuan para pengelolaan pertanian tentang OPT, seperti gejala awal serangan hama dan penyakit, identifikasi jenis-jenis OPT yang spesifik, siklus hidup OPT dan bangaimana interaksinya dengan lingkungan fisik, merupakan kunci keberhasilan penerapan PHT. Sebagai contoh, musim panas yang panjang akan  menyebabkan perkembangan serangga lebih cepat, sedangkan pada musim hujan serangan penyakit jamur dan bakteri akan meningkat. Dari pengetahuan dasar tersebut dapat ditentukan waktu dan tindakan yang harus dilakukan.
Pada pemakaian pestisida alami, pengetahuan siklus hidup OPT menjadi sangat penting. Pestisida alami cepat terurai sehingga sifat racunnya sangat cepat hilang. Hal ini menuntut ketetapan waktu penyemprotan yang tinggi. Sebagai contoh pemakaian bakteri bacillus thuringiensis lebih efektif untuk mengendalikan serangan pada tahap larva.
Pelaksanaan PHT bias dikatakan berhasil jika populasi OPT dapat dikendalikan, sehingga secara ekonomi tidak merugikan, diikuti dengan peningkatan hasil panen dan biaya produksi yang bermuara pada peningkatan pendapatan petani. Sementara itu, dampak buruk pengendalian hama terhadap manusia dan lingkungan diperkecil.

A.    Tindakan Pencegahan
Penerapan PHT lebih menekankan kepada tindakan yang bersifat pencegahan dan mengetumakan pertumbuhan tanaman yang sehat. Karenanya, PHT tidak akan berhasil tanpa program budi daya yang baik dan benar. Tanaman yang sehat terntunya akan lebih tahan terhadap serangan OPT dan lebih cepat sembuh setelah terjadi serangan hama dan penyakit. Praktik budi daya yang dilakukan di lapangan akan mempengaruhi keberadaan suatu penyakit atau hama tertentu dan berpengaruh pula terhadap besar kecil tingkat serangan. Misalnya, pemakaian nitrogen sampai batsa tertentu akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Peningkatan pupuk nitrogen ini jika tidak diikuti dengan aspek budi daya lainnya akan mempengaruh buruk, karena akan meningkatkan pengambilan air. Jika peningkatan kebutuhan air tidak dapat terpenuhi, akan menyebabkan tanaman stress dan mudah terserang penyakit.

B.     Tindakan Pengendalian
Dalam program PHT, tindakan pengendali OPT baru dilakukan jika jumlah populasi OPT yang ditemukan di lapangan telah melewati batas toleransi. Batas toleransi ini biasanya disebut sebagai nilai ambang ekonomi. Petani dan praktisi pertanian dapat menetapkan sendiri nilai ambang ekonomi untuk setiap jenis tanaman yang diusahakan berdasarkan pengalaman masing-masing. Nilai ambang ekonomi seperti tercantum pada Tabel 2 menunjukkan jumlah maksimum dari jenis OPT tertentu yang masih dapat diterima dan tidak perlu dikendalikan, karena belum menimbulkan kerusakan dan kerugian yang berarti. Jika populasi OPT telah melewati nilai ambang ekonomi, kerugian yang akan ditimbulkan akibat serangan OPT akan lebih besar dibandingkan dengan biaya pengendaliannya, sehingga secara ekonomi tindakan pengendalian sudah layak dilakukan.
a.       Perlakuan Fisik
Perlakuan atau tindakan fisik lebih banyak dilakukan untuk mengendalikan serangan hama. Contohnya : Pemangkasan, pengumpulan hama, pemakaian perangkap dan pemasangan orang-orangan.
b.      Pengandalian Biologis
Pengendalian biologis ini dilakukan dengan menyebarkan dan memelihara musuh alami atau predator dari OPT tertentu di daerah pertanian.
c.       Pengendalian Kimiawi
Program PHT masih mengizinkan pemakaian racun kimia buatan (pestisida sintesis) untuk mengendalikan OPT, asal dilakukan dengan metode yang benar.

C.    Peranan Pestisida Alami
Pemakaian pestisida alami dan penerapan PHT adalah dua hal yang saling mendukung. Penerapan PHT bertujuan untuk menekan dampak negative pemakaian pestisida sintesis, mencegah resurgensi dan kekebalan OPT, serta memanfaatkan semaksimal mungkin kemampuan alam untuk mengendalikan OPT, hal ini sangat sejalan dengan tujuan pemakaian pestisida nabati yang ramah lingkungan.
Program PHT sangat menginginkan jenis pestisida yang dapat megendalikan perkembangan OPT dengan efektif, bersifat selektif (hanya mematika OPT tertentu) dan tidak membahayakan kehidupan musuh alami, serta dapat terurai dengan cepat oleh faktor-faktor alam. Pestisida nabati cepat terurai oleh faktor-faktor lingkungan hasil penguraiannya akan kemabali kea lam dalam bentuk bahan yang tidak mengandung racun. Berbeda halnya dengan pestisida sintesis yang telah berada didalam tanah dan air dalam bentuk senyawa beracun hingga bertahun-tahun.
Persyaratan pertisida ideal yang diinginkan pleh program PHT ini seluruhnya dapat dipenuhi oleh berbagai macam pertisida nabati. Pemakaian pertisida nabati memanga akan sangat mendukung keberhasilan PHT, tetapi pemakaian pertisida hanya merupakan satu dari sekian banyak faktor yang harus mendapat perhatian untuk keberhasilan PHT. Tanpa memperhatikan konponen-konponen PHT lainnya, pemakaian pestisida nabati juga berpotensi menyebabkan kekebalan dan resurgensi OPT.
Sifat pertisida nabati yang cepat terurai ini di sisi lain merupakan kelemahan, karena pestisida nabati tidak mampu terlalu lama menjaga  tanaman dari gangguan OPT, sehingga menuntut cara aplikasi yang lebih spesifik. Pemakaian pestisida nabati dalam mengendalikan OPT tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa diikuti penerapan sistem PHT. Tingkat keberhasilan pengendalian hama dengan pestisida nabati akan sangat rendah jika komponen-komponen lain dalam PHT tidak mendapat perhatian. Sebaliknya tingkat keberhasilan pestisida nabati bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pestisida sintesis jika dilakukan dalam kerangka PHT.
Pemakaian pestisida nabati yang intensif telah melahirkan konsep baru yang merupakan pengembangan dari PHT dan dikenal sebagai alternate pest management (pengelolaan hama alternatif). Konsep yang terakhir ini umumnya diterapkan pada sistem pertanian organik yang sama sekali tidak memakai pestisida sintesis. Pestisida nabati ramah lingkungan ini juga dapat menyebabkan kekebalan hama dan resurgensi hama jika faktor-faktor lain dalam PHT mulai ditingkatkan.

D.    Fungsi dan Kelebihan Pestisida Nabati
Pestisida nabati memiliki sejarah panjang dan telah menjadi tradisi bangsa-bangsa didunia. Bangsa Romawi kuno telah memiliki minyak zaitun sebagai pestisida. Mamba telah lama dipakai di India dan sekarang India telah menjadi produsen pestisida nabati dengan bahan aktif mamba. Akar tuba dilaporkan telah dipakai di Malaysia sejak pertengahan tahun 1800, dan piretrum dipakai di Persia (Iran) sejak tahun 1800-an. Tembakau memiliki sejarah yang lebih tua, bangsa prancis telah memakainya sebagai insektisida sejak tahun 1600-an.
Penelitian tentang tanaman-tanaman beracun nabati di Indonesia dimulai sejak didirikannya Pusat Ilmu Pengetahuan Botani oleh belanda pada tahun 1888. sementara itu, penelitian tentang pemanfaatan tanaman tuba (Derris sp.), bunga krisan liar (Pyrethrum), dan bengkuang sebagai pestisida nabati dimulai sejak dekade 1950-an. Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 2.000 jenis tanaman yang telah dikenal memilikikemampuan sebagai pestisida. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitron) di Bogor memiliki koleksi puluhan jenis tanaman yang dapat dipakai sebagai insektisida.
Secara alami tanaman memproduksi senyawa beracun untuk melindungi spesiesnya dari kepunahan akibat serangan hama dan penyakit. Senyawa-senyawa ini disebut metabolit sekunder. Spesies tanaman yang tidak pernah diserang OPT yang menjadi pengganggu tanaman lain bisa jadi mengandung bahan metabolit sekunder yang dapat dipakai sebagai pestisida.

E.     Mengenal Pestisida Nabati
Untuk menghadapi berbagai macam tantangan pembungan pertanian, pemerintah beserta masyarakat harus mampu membuat terobosan-terobosan dengan berbagai alternatif yang dapat memberikan jalan keluar dari permasalahan dengan tidak melupakan kepedulian terhadap lingkungan dan mengutamankan keberpihakan kepada petani. Suatu alternatif pengendalian hama penyakit yang murah, praktis, dan relatif aman terhadap lingkungan sangat diperlukan oleh negara berkembang seperti Indonesia dengan kondisi petaninya yang memiliki modal terbatas untuk membeli pestisida sintesis. Masalah produksi pertanian, khususnya produksi pangan, menjadi masalah yang sangat delematis. Di satu sisi penggunaan pestisida, khususnya pestisida sintesis sangat membantu peningkatan produktivitas hasil pertanian, walaupun telah disadari pula dampak negatif  yang ditimbulkan tidak kecil. Namun demikian, apabila penggunaan pestisida sintesis dihentikan secara drastis maka dikhawatirkan produksi pertanian akan turun. Oleh karena itu, sudah tiba saatnya untuk memasyarakatkan pestisida nabati yang ramah lingkungan.
Secara umum, pestisida nabati diartikan suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Pestisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan tang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya mudah hilang. Pestisida nabati bersifat “pukul dan lari” (hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam. Dengan demikian, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan aman untuk di konsumsi. Penggunaan pestisida nabati dimaksudkan buka untuk meninggalkan dan menganggap tabu penggunaan pestisida sintesis, tetapi hanya merupakan suatu cara alternatif dengan tujuan agar pengguna tidak hanya tergantung kepada pestisida sintesis. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan pestisida sintesis dapat diminimalkan sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkannya pun diharapkan dapat dikurangi pula.
Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat pertanahan alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan produksi metabolistik sekunder dan dugunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Tumbuhan sebenarnya kaya akan bahan bioaktif. Walaupun hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang telah terindektifikasi, tetapi jumlah bahan kimia pada tumbuhan dapat melampaui 400.000. lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida. Oleh karena itu, apabila kita dapat mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan sangat membantu masyarakat petani kita untuk mengembangkan pengendalian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yan terdapat disekitarny.























BAB II. PEMBUATAN PESTISIDA NABATI

Cara pembuatan pestisida nabati dari berbagai jenis tumbuhan tidak dapat dijelaskan secara khusus atau distandarisasi karena memang sifatnya tidak berlaku umum. Suatu ramuan pestisida nabati yang berhasil baik atau bersifat efektif di suatu tempat belum tentu berhasil dengan baik pula ditemapat lainnya karena ramuan pestisida nabati bersifat site specific (khusus lokal). Salah satu penyebabnya adalah pada tumbuhan yang sama, tetapi jika tumbuh di lingkungan yang berbeda maka kandungan bahan aktifnya pun dapat berbeda pula. Oleh karena, dosis atau konsentrasi bahan aktif yang digunakannya pun akan berbeda pula. Berkaitan dengan masalah ini maka ramuan pestisida nabati akan tergantung kepada hasil pengujian di lokasi setempat dan mungkin tidak akan berlaku ditempat lain ( tidak berlaku umum).
Secara garis besar pembuatan pestisida nabati dibagi menjadi dua cara, yaitu secara sederhana dan secara laboratorium. Cara sederhana (jangka pendek) dapat dilakukan oleh petani dan penggunaan ekstrak biasanya dilakukan sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak dilakukan. Cara laboratorium membutuhkan alat dan bahan kimia khusus serta harus dilakukan tenaga ahli. Hal tersebut menyebabkan produk pestisida nabati menjadi mahal, bahkan sering kali lebih mahal dari pada pestisida sintesis yang sekarang sudah banyak beredar. Selain biaya yang mahal, proses pembuatan cara laboratorium memerlukan penanganan khusus, seperti penyimpanan yang khusus karena sifat pestisida nabati mudah terdegradasi. Oleh karena itu, pembuatan dan penggunaan pestisida nabati lebih diarahkan dan dianjurkan kepada cara sederhana, untuk luasan terbatas, dan dalam jangka waktu penyimpanan terbatas (biasanya langsung pakai). Namun, lain halnya apabila penggunaannya diarahkan kepada kegiatan organic farming (pertanian organik) yang menghindar penggunaan bahan-bahan kimia sintesis, bisa jadi harga yang mahal tidak menjadi masalah karena produk organic farming memang relatif mahal.
Untuk menghasilakn bahan pestisida nabati dapat dialakukan beberapa teknik berikut :
a)      Penggerusan, penumbukan, pembakaran, atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu, atau pasta.
b)      Rendaman untuk produk ekstrak.
c)      Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.
Dengan dikembangkannya pemanfaata pestisida nabati diharapkan petani atau pengguna dapat mempersiapkan sendiri cara pengendalian hama terpadu. 


BAB III. KENDALA DAN PELUANG
PENGGUNAAN PESTISIDA NABATI


Di Indoneisa, penggunaan pestida nabati masih belum memasyarakat. Hal ini berkaitan dengan bebrapa kendala yang dihadapi dalam penggunaannya. Dengan mengetahui kendala-kendala penggunaannya maka diharapkan akan muncul jalan keluar dari masalah tersebut sehingga peluang penggunaannya pun semakin terbuka lebar.

A.    Kendala Penggunaan Pestisida Nabati
Bekaitan dengan beberapa manfat yang didapatkan dari pestisida nabati maka sudah selayaknya jika penggunaan jenis pestisida ini harus dimasyarakatkan. Namun demikian, penggunaan dan pengembangan pestisida nabati di Indonesia mengalami beberapa kenadala berikut.
a.       Pestisida sintesis tetap lebih disukai dengan alasan mudah didapat, praktis mengaplikasikannya, hasilnya relatif cepat terlihat, tidak perlu membuat sediaan sendiri, tersedia dalam jumlah banyak, dan tidak perlu membudidayakan sendiri tanaman penghasil pestisida.
b.      Kurangnya rekomendasi atau dorongan dari pengambil kebijakan (lack of official recommendation). Hal ini terlihat dari kurangnya atau tidak adanya penyuluh dan pengenalan penggunaan pestisida nabati kepada petani atau pengguna. Hal ini mungkin terjadi karena keterbatasan pengetahuan para penyuluh atau petugas pertanian terkait dengan pestisida nabati.
c.       Tidak tersedianya bahan secara berkesinambungandalam jumlah yang memadai saat diperlukan.
d.      Walau penggunaan pestisida nabati menimbulkan residu relatif rendah pada bahan makanan dan lingkungan serta dianggap lebih aman dari pada pestisida sintesis, tetapi frekwensi penggunaan menjadi tinggi. Tingginya frekwensi penggunaan jenis pestisida ini karena sifatnya yang mudah terurai di alam sehingga memerluka pengaplikasian yang lebih sering.
e.       Sulitnya regristrasi pestisida nabati mengingat pada umumnya jenis pestisida ini memiliki bahan aktif yang komplek (multiple active ingredient) dan pada beberapa kasus tidak semua bahan aktif dapat dideteksi. Di lain pihak, apabila teradapat pestisida nabati hanya terdiri diri satu bahan aktif maka sifatnya tidak berbeda dengan pestisida sintesis, yaitu umumnya sering membuat hama menjadi resisten terhadap bahan ini. Sebagai contoh, untuk registrasi pestisida nabati Margosan-O di Amerika yang dilaporkan hanya mengandung azadirachtin (berasal dari tanaman mimba) menghabiskan dana sekitar $100.000 atau sekitar Rp. 800.000.000.
Selain kendala-kendala di atas, pada tanaman pestisida nabati yang sama, tetapi tumbuh ditempat yang berbeda, umur tanaman berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda, ketinggian temp[at berbeda, dan waktu panen yang berbeda menyebabkan kandungan bahan aktifnya menjadi sangat berfariasi. Hal ini mengakibatkan perlunya dilakukan suatu penelitian khusus lokasi (site spesific) di daerah yang akan menggunakan pestisida nabati atau di buat dalam suatu kemasan atau formula dengan kadar bahan aktif tertentu. Untuk cara yang kedua tentunya diperlukan alat, tenaga, dan biaya tersendiri. Oleh karena itu, sangat diperlukan bimbingan dari petugas lapangan untuk sekedar uji coba mengebai perbandingan tanaman dengan pelarut atau tentang konsentrasi dan dosis yang sesuai di suatu tempat.


B.     Peluang Penggunaan Pestisida Nabati
Pada tahun 1960 negara-negara industri bersepakat untuk membentuk Organization Economic Corporation Development (OECD). Akhir-akhir ini OECD melakukan evaluasi tentang perkembangan organic farming (pertanian organic) yang pertama dikembangkan pada tahun 1993 di masing-masing negara anggota OECD. Disamping pertanian organik, dipakai istilah-istilah seperti law input agricurture, alternatife agriculture, dan subtainable agricultire (LISA). Walaupu istilah yang digunakan bermacam-macam, tetapi pada prinsipnya sistem pertanian di atas adalah sama. Kesamaan tersebut dapat dilihat pada kriteria berikut.
a.       Menghasilkan produk pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang optimal.
b.      Bersahabat dengan alam.
c.       Mengupayakan kesuburan tanah secara lestari.
d.      Meminimalkan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
e.       Meminimalkan pemakaian bahan yang tidak dapat diperbaharui.

Penerapan sistem pertanian organik yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam OECD menunjukkan bahwa subsidi pemerintah tidak berupa sarana penelitian, tetapi berupa latihan bagi petani dan petugas pertanian serta memicu kegiatan penelitian. Dengan mengadakan latihan secara intensif diharapkan dapat meningkatkan sumber daya manusia. Di Indonesia, akhir-akhir ini telah mulai banyak kegiatan-kegiatan petani dengan sistem pertanian organik tanpa menggunakan pestisida sintesis, tetapi menggunakan pestisida nabati.
Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif pestisida. Sebenarnya sejak dahulu penduduk Indonesia sudah menggunakan tumbuh-tumbuhan tersebut sebagai racun serangga atau racun ikan. Seandaiannya kebutuhan pestisida sintesis di Indonesia saat ini mencapai 20.000 ton dengan nila sekitar 200 – 300 miliar rupiah per tahun dapat diisi oleh pestisida nabati sebesar 10% saja maka devisa yang dapat dihemat mencapai 20 – 30 miliar rupiah per tahun. Keuntungan lain yang diperoleh dari penggunaan pestisida nabati adalah akan meningkatkan perkembangan agroindustri, khususnya industri pedesaan, pertumbuhan usaha baru dan kelestarian lingkungan.
Dengan melihat kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia, keadaan sosial ekonomi sebagian besar petani Indonesia, program internasional mengenai kegiatan pertanian organik yang sangat mendukung penggunaan pestisida nabati, peraturan pendaftaran pestisida nabati di Indonesia yang relatif sederhana (khususnya yang digunakan sendiri), hasil-hasil penelitian dan teknologi sederhana yang tersedia, serta hal-hal lainnya yang mendukung maka peluang penggunaan pestisida nabati di Indonesia terbuka cukup lebar.


BAB IV. BAHAYA TUMBUHAN INSIKTISIDA NABATI.

1.      Bengkuang                      bagian yang digunakan          biji
2.      Bitung                             bagian yang digunakan          biji
3.      Jerigen                             bagian yang digunakan          rimpang
4.      Saga                                bagian yang digunakan          biji
5.      Sirai                                 bagian yang digunakan          daun dan batang
6.      Sirsak                              bagian yang digunakan          daun dan biji
7.      Srikaya                            bagian yang digunakan          daun dan biji
8.      Tuba Rasa                       bagian yang digunakan          daun dan biji
9.      Kamala Kain                   bagian yang digunakan          biji
10.  Suren                               bagian yang digunakan          daun
11.  Mimba                             bagian yang digunakan          biji, daun dan ranting
12.  Bawang putih                  bagian yang digunakan          umbi
13.  Mahoni                            bagian yang digunakan          biji
14.  Lada                                bagian yang digunakan          biji
15.  Kemuning                       bagian yang digunakan          batang dan ranting
16.  Tembakau                        bagian yang digunakan          daun dan batang
17.  Sirih                                 bagian yang digunakan          daun
18.  Cengkeh                          bagian yang digunakan          daun dan batang
19.  Bawang merah                bagian yang digunakan          umbi
20.  Cabe Merah                     bagian yang digunakan          buah
21.  Lengkuas                         bagian yang digunakan          batang
22.  Gadung                           bagian yang digunakan          umbi
23.  Kunyit                             bagian yang digunakan          umbi
24.  Tuba jieen                        bagian yang digunakan          akar
25.  Jambu mede                    bagian yang digunakan          kulit buah
26.  Jarah                                bagian yang digunakan          semua bagian tanaman
27.  Kembang (truf payo)      bagian yang digunakan          daun dan biji
28.  Sintang                            bagian yang digunakan          daun
29.  Capa                                bagian yang digunakan          daun
30.   Bak lakom                       bagian yang digunakan          batang dan daun

0 komentar: